Saya pernah didebat karena pendapat saya, yang berdasarkan kisah dari Qur'an, dianggap tidak benar karena menurutnya tidak sesuai dengan sejarah. Ini membuat saya teringat pada suatu bahasan di salah satu channel tentang ilmu sejarah.
History, yaitu kata "sejarah" dalam bahasa Inggris, berasal dari kata his-story. Yang artinya adalah "Kisah/Cerita nya". Sesuai dengan asal katanya, ilmu history/sejarah mengandung unsur subyektifitas yang paling tinggi dari cabang-cabang ilmu lain. Karena history/sejarah adalah his-story .. kisah-nya. Kisah seseorang atau sekelompok orang. Suatu kejadian sangat tergantung pada kisah siapa saja yang diambil.
Sebagai contoh, sejarah perang dunia ke-dua pasti akan jauh berbeda jika didasarkan pada kisah pelaku sejarah dari Jerman dan Jepang. Dalam sejarah memang ada fakta-fakta fisik, namun interpretasi atas fakta-fakta fisik tersebut boleh jadi akan saling bertentangan.
Dalam keseharian, kita sendiri sering menjumpai hal serupa. Misalkan ada kecelakaan, faktanya adalah ada dua mobil dalam kondisi yang terlihat, maka kisah dari masing-masing orang yang terlibat dapat berbeda bahkan dapat bertolak belakang. Kadang fakta dapat meluruskan kisah mana yang benar, namun kisah yang satu itupun masih tidak terlepas dari variasi-variasi kecil (mungkin kecil, tapi dampaknya boleh jadi besar).
Dalam kalangan ahli sejarah sendiri, menurut channel itu, suatu peristiwa bersejarah selalu mempunyai banyak versi dan versi-versi yang ada sedapat mungkin disampaikan juga dalam pembahasan para ahli sejarah. Itupun, masalahnya, tidak semua versi diketahui. Sehingga mereka hanya dapat menilai berdasarkan versi yang mereka ketahui saja.
Oleh karena itu, masih menurut bahasan di channel tersebut, kebanyakan kisah sejarah yang diketahui umum adalah kisah yang disepakati oleh mayoritas ahli sejarah sebagai kisah yang dianggap paling mendekati kebenaran. Timbul pertanyaan, kelompok ahli sejarah darimana dan apa background mereka? Juga tidak kalah penting adalah agamanya. Tentunya, latar belakang budaya, agama, dan sosial mereka akan berpengaruh secara sadar atau tidak sadar pada pilihan mereka, tidak peduli betapapun mereka berusaha obyektif.
Kesimpulannya, sejarah yang berdasarkan kisah sekelompok orang tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran mutlak. Kisah mereka (his-story) adalah sama kedudukannya dengan kisah dari orang-orang lain sesama pelaku sejarah (yang kisahnya mungkin berbeda lagi), begitu pula sama kedudukannya jika suatu kitab suci mengisahkan peristiwa yang sama. Bahkan bagi pemeluk agama yang terkait, kisah kitab sucinya adalah kisah yang sesungguhnya.
Jadi jika seseorang menyampaikan suatu kisah berdasarkan sejarah atau kisah kitab sucinya, yang berbeda dengan kisah yang kita yakini, maka adalah bijak untuk tidak membantahnya. Karena bantahan kita hanya akan membawa pada debat kusir yang tidak ada gunanya.
Kecuali jika orang tersebut nyata-nyata mengklaim suatu kisah berasal kitab suci kita padahal kita tahu tidak begitu, maka pantas jika kita meluruskannya dengan santun. Diluar itu, soal fakta sejarah? Biarkanlah para ahli sejarah yang membahasnya, kita tinggal mengutip saja. Kutipan kita atau orang itu, sama saja. Kan hanya kisah-nya, his-story, kata-nya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI