Mohon tunggu...
Wisnu Wizzy Wardana
Wisnu Wizzy Wardana Mohon Tunggu... Program Doktor Ilmu komunikasi Universitas Sahid Jakarta

In Omnia Paratus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jurnalisme Perdamaian: Jawaban Atas Pola Pemberitaan Yang Cenderung Memperkeruh Konflik

26 Juni 2025   12:33 Diperbarui: 26 Juni 2025   12:33 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Wisnu Wardana 

Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Di tengah eskalasi berbagai konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, peran media kembali menjadi sorotan. Bagaimana media memberitakan konflik tak jarang justru menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Jurnalisme perang yang selama ini dominan kerap kali lebih menonjolkan sisi kekerasan, pertumpahan darah, dan kerugian material, namun abai terhadap akar masalah maupun dampak jangka panjang yang tak kasatmata.

Pola pemberitaan seperti ini memang sering dianggap lumrah, bahkan menjadi standar di banyak ruang redaksi. Gambar korban luka, rumah yang hancur, hingga angka-angka statistik kematian menjadi sajian utama di layar kaca dan halaman surat kabar. Sayangnya, di balik semua itu, upaya untuk memahami akar konflik, sejarah, dinamika sosial, dan potensi penyelesaian kerap terabaikan.

Lebih dari sekadar informasi, jurnalisme perang tanpa perspektif kritis kerap kali justru menyederhanakan realitas yang kompleks. Konflik dipersepsikan hanya sebatas hitam dan putih: siapa kawan, siapa lawan; siapa pemenang, siapa pecundang. Akibatnya, publik tidak diajak untuk berpikir jernih, melainkan justru terjebak dalam polarisasi yang semakin memperlebar jurang perpecahan.

Contoh nyata dapat dilihat dari pemberitaan konflik di Timur Tengah, Ukraina, hingga pertikaian antar kelompok di berbagai daerah di Indonesia. Alih-alih mendorong upaya damai, banyak media justru terjebak dalam framing provokatif, memperkuat stigma, bahkan ikut menyulut sentimen permusuhan di masyarakat. Dalam situasi inilah, kebutuhan akan jurnalisme perdamaian menjadi semakin mendesak. Berbeda dengan jurnalisme perang, jurnalisme perdamaian berupaya membongkar akar persoalan, menyajikan informasi komprehensif, serta menghadirkan narasi yang membangun ruang dialog dan rekonsiliasi.

Jurnalisme perdamaian tidak berarti mengabaikan fakta atau menutup-nutupi kekerasan. Sebaliknya, ia justru menuntut jurnalis untuk menggali lebih dalam, menampilkan semua sisi peristiwa, termasuk dampak psikologis, trauma kolektif, kerusakan sosial, dan budaya yang kerap tersembunyi dari sorotan kamera. Selain itu, jurnalisme perdamaian mendorong media untuk mengangkat suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Bukan hanya suara elite politik atau pihak-pihak yang bersenjata, tetapi juga korban, masyarakat sipil, kelompok rentan, dan para pegiat perdamaian yang berjuang di balik layar.

Langkah ini sekaligus menjadi bentuk tanggung jawab media untuk tidak sekadar menjadi penyampai informasi, melainkan juga agen perubahan sosial. Dalam situasi konflik, media memiliki kekuatan besar untuk mengarahkan opini publik, memengaruhi emosi massa, sekaligus menjadi penentu apakah situasi akan memburuk atau justru membaik.

Sayangnya, implementasi jurnalisme perdamaian masih minim, baik di Indonesia maupun dunia. Banyak jurnalis yang terjebak pada rutinitas peliputan konvensional, tekanan rating, hingga kepentingan politik yang mempengaruhi independensi ruang redaksi. Kondisi ini menuntut adanya komitmen serius dari para jurnalis, media, hingga lembaga pendidikan untuk membekali insan pers dengan perspektif jurnalisme perdamaian. Pelatihan, kurikulum jurnalistik, hingga kode etik profesi perlu diperkuat agar media tidak lagi menjadi corong konflik, melainkan jembatan perdamaian.

Masyarakat sebagai konsumen informasi juga perlu memiliki literasi media yang memadai. Publik harus diajak untuk kritis terhadap pemberitaan, tidak larut dalam provokasi, serta mendukung media-media yang konsisten mengedepankan nilai-nilai damai dalam setiap liputannya. Di era digital saat ini, peran jurnalisme perdamaian semakin strategis. Media online, media sosial, hingga platform berbasis komunitas memiliki jangkauan luas dan kecepatan tinggi dalam menyebarkan informasi. Potensi ini harus dimanfaatkan untuk membangun narasi damai, bukan sekadar menjadi ajang propaganda atau penyebaran kebencian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun