Little Women adalah film yang diadaptasi dari novel klasik karya Louisa May Alcott. Rilis pada 2019, film yang disutradarai Greta Gerwig ini berlatar masa Perang Saudara Amerika. Mengikuti kisah empat saudari March (Meg, Jo, Amy, dan Beth) yang tumbuh bersama dalam dinamika keluarga, mimpi, dan batasan gender. Dibintangi nama-nama besar seperti Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Eliza Scanlen, hingga Timothe Chalamet, film ini tampil memikat, terutama berkat pendekatan naratif non-linear yang membongkar konflik dan emosi lebih dalam.
Meski tampak sebagai drama keluarga klasik, Little Women menyimpan lapisan kritik sosial yang tajam. Isu-isu seperti patriarki, feminisme, relasi, hingga kapitalisme menjadi fondasi cerita. Namun, yang paling subtil dan sekaligus paling menarik adalah penggambaran performativitas gender dan negoisasi identitas menjadi konsep yang menyentuh, bagaimana perempuan terus-menerus "bermain peran" dalam struktur masyarakat yang menuntut mereka menjadi sesuatu yang spesifik.
Performatifitas Gender dan Negosiasi Identitas
Judith Butler, menyatakan bahwa gender bukanlah identitas yang dimiliki secara alami, melainkan hasil dari tindakan dan representasi yang diulang terus-menerus. Menjadi "perempuan" atau "laki-laki" bukan sekadar fakta biologis, tapi sesuatu yang dilakukan karena norma sosial. Terlahir sebagai perempuan dan dipaksa berperilaku sebagai perempuan sesuai "tatanan" yang telah ditulis oleh masyarakat patriarkal.
Dalam sistem ini, perempuan tidak sepenuhnya memiliki otonomi atas identitasnya. Perempuan harus menegosiasikan keinginan pribadi dengan ekspektasi sosial: untuk menikah, tunduk, cantik, dan berfungsi sesuai standar laki-laki. Little Women tidak hanya menyoroti kondisi ini, tapi juga mengkritiknya dengan sangat halus dan elegan.
Jo March: Perlawanan yang Tetap Terkekang
Jo March, karakter utama dalam Little Women, menjadi simbol penolakan terhadap peran gender konvensional. Dengan ambisi sebagai penulis dan penolakannya terhadap institusi pernikahan, Jo ingin menjadi perempuan bebas. Namun kebebasan Jo dibatasi oleh tuntutan pasar dan maskulinitas industri penerbitan. Ia harus mengubah akhir cerita novelnya agar tokoh perempuan utama menikah, bukan karena kehendaknya, tapi demi memenuhi harapan penerbit laki-laki.
Situasi ini menjadi gambaran nyata bagaimana perempuan terpaksa "berperforma" bahkan ketika mereka berusaha menciptakan cerita alternatif bagi diri mereka. Jo mewakili perempuan yang mencoba menulis ulang naskah hidupnya, tapi tetap harus berkompromi dengan sistem yang lebih besar dari dirinya.
Amy March: Strategi dalam Sistem yang Tidak Adil
Amy March menjadi karakter yang sering disalahpahami sebagai perempuan yang materialstis dan ambisuis, tetapi justru mewakili realisme pahit tentang  kehidupan perempuan dalam sistem patriarki. Perempuan harus bersikap strategis dalam menghadapi sistem yang tidak adil. Bagi Amy, pernikahan adalah transaksi ekonomi dan bentuk survival. Ia tidak menyerah, tetapi menyusun langkah.Ia sadar bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan bagi perempuan untuk bertahan, dan ia memilih untuk memainkan peran itu dengan strategi.Â