Mohon tunggu...
Daniel Wiratraur
Daniel Wiratraur Mohon Tunggu... Lainnya - Ad Maiorem Gloriam

WNI tinggal di Larantuka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Tanahku, Sandaranku"

9 Maret 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:19 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh

Daniel Wirat Raul

Warga Kelurahan Weri Larantuka – Flores Timur

Hampir dapat dipastikan bahwa diktum perubahan akan bergelinding sebagai sebuah keniscayaan. Tak ada suatu hal apapun yang berjalan di tempat tetapi segalanya akan berarak menyusuri lorong perubahan entah itu yang bersifat evolusionis-predictable ataupun revolusioner-unpredictable. Dan salah satu hal yang dimaksud adalah tata hidup masyarakat desa dengan segala hal ihwal yang melingkupinya. Dari karakteristik kehidupan yang bersifat sederhana, homogen, tradisional dan kolektivistik, masyarakat desa terus berkembang sambil merengkuh identitas baru antara lain kompleksitas, heterogenitas dan modernitas.

Salah satu segi yang ditimbulkan oleh hempasan gelombang perubahan adalah proses dekoneksitas antara sebagian masyarakat desa dengan areal ‘tanah’ yang dimilikinya. Dalam bahasa harian, ingin dikatakan bahwa dalam arus waktu perubahan, terus terjadi kehilangan hak milik sebagian masyarakat desa atas areal tanah yang dimilikinya dengan berbagai moda pengalihan hak atas tanah.

Dari segi biososial hal ini merupakan sebuah perkembangan yang wajar di mana masyarakat dilihat sebagai organisme hidup yang salah satu faktor pengenalnya adalah terus terjadinya proses pertukaran. Untuk organisme, kehidupan adalah juga hal keseimbangan di mana unsur bertekanan tinggi akanmencari dan terarah pada unsur bertekanan rendah. Proses ini analog dengan interaksi yang terbangun antara masyarakatperkotaan yang tertimpa krisis lahan dengan masyarakat desa yang mengalami surplus lahan.

Persoalan terjadi ketika praktek pelepasan dan penguasaan berlangsung dengan kadar berlebihan. Dari sisi masyarakatdesa pelepasan hak tidak lagi memperhitungkan ketersediaan lahan sebagai sandaran ekonomi dan di pihak masyarakat kota penguasaan lahan tidak lagi didasari oleh asas kecukupan tetapi justeru dibimbing oleh hasrat penumpukan yang menganakharamkan rasa cukup. Terkait dengan itu, dalam ilmu ekonomi berlaku hukum bahwa kekayaan mempunyai salah satu sifat untuk tidak saja disimpan (save) tapijuga menuntut untuk dikembangkan atau dilipatgandakan.Dalam perspektif yang demikian dapat dipahami gejala di mana orang-orang kaya yang biasanya tersentralisasi di wilayah perkotaan tertarik untuk mengkonversikan kekayaannya dalam bentuk tanah yang ada di pedesaan. Pilihan ini menjadi menarik dan bermanfaat karena hal-hal antara lain : kekayaan yang dikonversi dalam bentuk tanah bersifat lebih aman daripada pilihan yang lain. Dalam bahasa sederhana yang dimaksud dengan aman itu berarti: tanah tidak dapat dirampok atau dihilangkan oleh karena sifatnya sebagai barang tidakbergerak dan tidak dapat dipindahkan. Selain itu perawatan atas tanah tidak menuntut biaya yang besar dan secara inherent nilai tanah seyogyanya akan terus meningkat oleh karena laju pertambahan penduduk yang tidak diikuti laju perluasan tanah. Ratio ketimpangan antara luas tanah dan jumlah penduduk akan tetap menjadi determinan peningkatan nilai tanah dari waktu ke waktu.

Kehilangan sandaran ekonomi adalah kata-kata yang membahasakan realitas kemiskinan. Inilah dampak ikutan yang tak dapat ditolak oleh sebagian masyarakat desa kita. Kemiskinan adalah sebuah fakta sosial dan tak pernah akan menjadi sebuah ideal sosial oleh karena itu siapapun yang masih bening hati nuraninya serta masih waras akal pikirannya pastinya harus menolak kemiskinan. Untuk itu amat memprihatinkan karena pelepasan dan penguasaan tanah atas cara demikian akan membangun relasi asimetris antara masyarakat desa dan kota. Hubungan antara kelompok yang berjalan tidak simetris antara satu dengan yang lain membuat kita tidak bisa menghindar dari terbentuknya relasi dominus - captivus atau relasi yang berkuasa dengan yang hamba. Hal ini juga berlaku terhadap relasi antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan.

Selain terjebak dalam sentiment kaya-miskin pelepasan dan penguasaan atas tanah mempertaruhkan juga ideologi dan kepentingan kelompok. Di sini patut dikatakan bahwa setiap kelompok dalam rangka memelihara identitas kelompoknya akan terus berupaya membangun hegemoni yakni suatu usaha menguasai pihak lain bukan dengan cara menggelar kekuatan fisik atau senjata tetapi dengan cara yang lebih halus, tersembunyi tapi efektif yakni dengan cara melemahkan kekuatan, kapasitas baik ekonomis maupun sosial yang dimiliki oleh kelompok lainnya. Penguasaan atas tanah adalah suatu model operasionalisasi dari upaya hegemoni.

Penguasaan dan pelepasan hak atas tanah adalah suatu validitas sosial yang tak boleh ditolak akan tetapi ketika itu menyisakan ekses barangkali harus dicegah sampai titik seminimal mungkin. Dan dalam rangka itu salah satu perhitungan yang perlu tertanam pada masyarakat desa yaitu perlunya upaya melakukan refleksi kolektif di mana unsur-unsur sosial kebudayaan yang memberi beban berat terhadap masyarakatperlu ditinjau dan disesuaikan dengan bentuk pengungkapan yang merespon kapasitas ekonomi anggota masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun