21 April 2025, dunia dikejutkan oleh kabar wafatnya Paus Fransiskus, pemimpin spiritual Gereja Katolik Roma yang telah menjadi simbol reformasi, keterbukaan, dan keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan selama lebih dari satu dekade. Kematian Paus Fransiskus bukan hanya kehilangan bagi umat Katolik, tetapi juga menjadi momen refleksi global yang melampaui batas agama dan wilayah. Reaksi dari berbagai penjuru dunia mencerminkan betapa luasnya pengaruh beliau. Dari Vatikan hingga Buenos Aires, dari pemimpin agama Islam hingga tokoh-tokoh lingkungan hidup, duka dan penghormatan datang bertubi-tubi, menyuarakan rasa kehilangan terhadap sosok yang dikenal karena kesederhanaan, keberanian moral, dan komitmen pada isu-isu keadilan sosial.
Media global dengan cepat merespons peristiwa ini. Selain menyoroti perjalanan hidup dan momen-momen penting dalam kepausannya, media juga menyoroti warisan pemikirannya khususnya dalam hal perubahan iklim, pengentasan kemiskinan, dan solidaritas terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan. Paus Fransiskus tidak hanya dilihat sebagai pemimpin religius, tetapi juga sebagai tokoh moral dunia yang membawa napas progresif ke dalam lembaga Gereja yang konservatif.
Pemberitaan media pun tak berhenti pada kabar duka. Dalam waktu singkat, perhatian bergeser ke pertanyaan besar: siapakah yang akan menggantikan beliau, dan ke arah mana Gereja akan bergerak selanjutnya? Diskursus seputar pemilihan Paus baru segera mengemuka, dengan media mengangkat lima nama kardinal yang mewakili spektrum pemikiran progresif, konservatif, dan moderat. Lima kardinal yang dimuat dalam pemberitaan media adalah Kardinal Pietro Parolin (moderat), Kardinal Peter Erd (konservatif), Kardinal Raymond Leo Burke (konservatif), Kardinal Matteo Zuppi (progresif), Kardinal Luis Antonio Tagle (progresif). Â Di sinilah media kembali memainkan peran penting, bukan hanya sebagai pelapor peristiwa, tetapi juga sebagai pembentuk narasi mengenai masa depan Gereja Katolik dalam bayang-bayang warisan Paus Fransiskus.
Warisan Berharga Paus Fransiskus
 Selama masa kepemimpinannya, Paus Fransiskus dikenal sebagai figur yang membawa angin segar dalam Gereja Katolik dengan pendekatan yang progresif, humanis, dan membumi. Media global secara konsisten mengangkat isu-isu utama yang menjadi fokus beliau, menjadikannya bukan hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga suara moral dunia yang relevan dengan problematika kontemporer.
Salah satu warisan pemikirannya yang paling dikenang adalah komitmennya terhadap isu perubahan iklim. Melalui ensiklik Laudato Si', Paus Fransiskus menyerukan tanggung jawab ekologis yang mendesak, mengkritik sistem ekonomi yang eksploitatif, dan menekankan pentingnya perlindungan terhadap "rumah bersama" umat manusia. Media liberal cenderung mengapresiasi sikap ini sebagai bentuk keberanian moral Gereja dalam bersuara di tengah krisis iklim global, sementara media konservatif kerap mempertanyakan apakah isu lingkungan seharusnya menjadi prioritas utama Gereja.
Selain itu, Paus Fransiskus juga dikenal lantang dalam isu pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Ia sering menegaskan bahwa Gereja harus berpihak pada mereka yang terpinggirkan: kaum miskin, pengungsi, dan kelompok minoritas. Dalam berbagai kunjungan pastoralnya, Fransiskus lebih memilih bertemu komunitas marjinal daripada tokoh elit, sebuah simbol kuat dari gaya kepemimpinan yang membumi.
Dalam konteks dialog antaragama dan perdamaian, Paus Fransiskus membangun relasi historis dengan pemimpin dunia Islam, Yudaisme, dan agama-agama lain, menekankan bahwa persatuan dan kerja sama lintas iman adalah jalan menuju dunia yang lebih damai. Upaya ini mendapat sorotan luas dari media global, yang melihatnya sebagai langkah revolusioner dalam hubungan antaragama.
Media global merespons warisan pemikiran ini dengan pendekatan yang beragam. Media berhaluan liberal umumnya menggambarkan Paus Fransiskus sebagai simbol progresivisme Gereja Katolik, sementara media konservatif lebih kritis, mempertanyakan apakah arah baru ini terlalu jauh dari tradisi Gereja. Perbedaan framing ini menunjukkan bahwa warisan Paus Fransiskus bukan hanya menjadi milik umat Katolik, tetapi juga medan tafsir ideologis dalam lanskap media global.
Media internasional berlomba-lomba menyiarkan kabar duka ini, namun lebih dari sekadar menyampaikan fakta, mereka juga turut membentuk narasi dan persepsi publik terkait makna wafatnya sang Paus serta dampaknya terhadap masa depan Gereja Katolik.
Dalam pemberitaannya, media menampilkan dua spektrum framing utama: framing spiritual dan framing sosial-politik. Media yang lebih konservatif cenderung menonjolkan sisi spiritual Paus Fransiskus, menyoroti perannya sebagai pemimpin rohani dan simbol persatuan umat Katolik. Mereka menekankan warisan iman, doa, dan dedikasi religiusnya, menghadirkan narasi duka dan kehilangan besar bagi dunia Kristen.