Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Katakan, Merdeka Atau Mati !!!.

17 Agustus 2015   05:12 Diperbarui: 17 Agustus 2015   05:12 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra.

Pada hari ini, 70 tahun yang lalu, para pejuang kita dulu, lebih sering mengucapkan kata ‘Merdeka atau Mati’, untuk menyemangati perjuangannya, dalam rangka merebut tanah-air dan mengusir para kolonialis/penjajah dari bumi nusatara. Seandainya, semangat ‘Merdeka atau Mati’ ini bisa hidup sampe hari ini, mungkin para negarawan dan pejuang-pejuang zaman sekarang bisa lebih mampu memerangi kolonialis-kolonialis baru negeri ini. Mungkin sekarang, kita kehilangan semangat ‘Merdeka atau Mati’, kita lebih mementingkan kekayaan dan kesenangan kita sendiri, tanpa peduli bahwa orang lain sekarat dan melarat karena kebijakan-kebijakan kita selaku atasan, pimpinan ataupun negarawan-negarawanan yang ada negeri ini.

Kondisi kemasyarakatan kita, saat ini, diwarnai oleh berbagai kepentingan kekuasaan dan kemunafikan, yang ujung-ujungnya adalah kepentingan untuk menumpuk kekayaan pribadi dan orang-orang dekatnya. Para politisi mengumbar janji pada masa pemilu atau pilkada, guna mendapatkan suara dari rakyat. Namun setelah menduduki kursi kekuasaan, mereka lupa, dan menelantarkan rakyatnya.

Tak hanya itu, ketika menjabat mereka melakukan korupsi atas uang rakyat, demi memperkaya diri mereka sendiri, atau menutup akses mereka, ketika pemilu. Seringkali uang hasil korupsi dibagi ke teman-teman dekat, bahkan ke institusi agama, untuk mencuci tangan sekalian mencuci uang. Jika sudah begitu mereka lalu mendapatkan dukungan moral dan politik dari teman-teman yang “kecipratan” uang, dan bahkan dukungan moral-religius dari institusi agama. Bukan rahasia lagi inilah pemandangan sehari-hari situasi politik di Indonesia. Kekuasaan diselubungi kemunafikan yang bermuara pada penghancuran kehidupan rakyat jelata.

Menengok kembali, saat Proklamator kita membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan politik Indonesia, yang dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jl. Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, pukul 10.00 WIB, memiliki makna sebagai berikut:

  1. Telah lahir sebuah negara dan bangsa baru yang merdeka dan berdaulat;
  2. Adanya kesadaran bangsa Indonesaia untuk melakukan revolusi, dalam rangka memindahkan kekuasaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya; dan,
  3. Adanya kesadaran bangsa Indonesia untuk Bebas dari segala bentuk janji muluk kemerdekaan dari pemerintah Jepang, dan para kolonialis.
  4. Lahirnya kesadaran baru bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan.

Dari makna proklamasi tersebut, seharusnya kita bisa menyadari bahwa kemerdekaan politik negara dan bangsa kita dari belenggu penjajah, merupakan awal untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, makmur dan bebas menentukan pilihan hidup. Namun hal tersebut belum bisa terlihat secara signifikan, kita melihat dengan mata telanjang bahwa kesenjangan ekonomi begitu lebar karena keadilan masih jauh dari harapan. Masyarakat semakin dangkal berfikir karena dipengaruhi oleh berbagai daya tarik konsumtif dari sistem ekonomi yang dianut. Korupsi menjadi banal (hal yang biasa), dan kehidupan beragama hanya meniupkan fanantisme baru yang jauh dari kehidupan yang mendamaikan.

Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Nietzsche, yang lahir pada 1844 dan meninggal pada 1900. Ia mengatakan bahwa kekuasaan bukan untuk diingkari, melainkan untuk diraih, dirayakan, dan digunakan untuk mencipta. Nietzsche juga terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.

Sebagai bagian dari dunia, negara Republik Indonesia, yang juga dimotori oleh kehendak untuk berkuasa di negeri sendiri, kita tidak lagi dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari alam kemerdekaannya. Sensasi itu mendorong kita untuk mencipta dunia baru (The new world-creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, kita pun terdorong untuk mencipta dunia baru di negeri kita sendiri. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subyek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subyek yang bukan subyek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa.

Kemerdekaan cara berpikir tersebut diatas sangatlah penting. Tanpa itu, tidak akan ada inovasi dan kreativitas. Tanpa inovasi dan kreativitas, bangsa kita akan tertinggal di dalam derap globalisasi. Setelah 70 tahun merdeka secara politis, kemerdekaan berpikir adalah sesuatu yang perlu kita wujudkan bersama.

Tanpa kemerdekaan berpikir yang diikuti dengan keadilan sosial, kemerdekaan hanyalah pencitraan. Tak heran jika banyak orang mencap pemerintah kita sebagai pemerintah pencitraan. Semua kebijakan hanya manis di mulut, berbuah pencitraan, tetapi tanpa hasil nyata yang bisa dirasakan. Sampai detik ini kita masih hidup dalam penjajahan dan kolonialisme cara berpikir tradisional yang tak relevan, maupun sikap rakus diri yang buta pada situasi maupun kenyataan.

Saat  ini, rakyat membutuhkan kemerdekaan yang tak hanya sekedar pencitraan. Rakyat membutuhkan kemerdekaan ekonomi, supaya mereka bisa hidup layak sebagai manusia. Rakyat membutuhkan kemerdekaan politis, supaya keinginan dan kebutuhan mereka menjadi pertimbangan utama para penguasa. Ini semua dapat terwujud, jika moral negarawan-negarawanan tersebut yang tak lagi relevan diperbarui ulang, dan sikap rakus diri dapat ditahan. Jangan sampai, hari kemerdekaan ini, cuma rakyat jelata saja yang mampu menyuarakan kembali kata ‘Merdeka atau Mati’, hanya untuk berjuang memperoleh sesuap nasi ?!!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 17 Agustus 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun