Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

E-mail: winny.gunartiww@unindra.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sadari "Kekerasan Simbolik" Melalui Iklan Pangan Tidak Sehat

13 November 2017   05:37 Diperbarui: 13 November 2017   05:40 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto:https://static.pexels.com/photos/57449/portrait-child-hands-57449.jpeg

Kita baru saja memperingati Hari Kesehatan Nasional (12/11). Menyambut Hari Anak Sedunia tanggal 20 November mendatang, ada banyak catatan penting yang harus menjadi perhatian pemerintah, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak kesehatan anak-anak, di mana pun mereka berada, dan dari golongan mana pun mereka berasal. 

Tanpa kita sadari "kekerasan simbolik" melalui media elektronik telah merasuk ke dalam berbagai bentuk tayangan, terutama tayangan untuk khalayak anak-anak, tidak hanya melalui film, akan tetapi juga iklan-iklan produk pangan yang merugikan kesehatan anak-anak. 

Iklan pangan tidak sehat yang mengabaikan potensi kesehatan anak-anak dalam jangka panjang,  yang minim nilai-nilai edukasi, dan hanya berorientasi pada kepentingan produk, dapat digolongkan sebagai bentuk "kekerasan simbolik". Kekerasan simbolik dalam konteks iklan lebih bersifat tekstual dan visual. Bentuknya dapat berupa indoktrinasi pesan atau makna. Elemen-elemen visual yang dibangun cenderung membentuk citra produk secara sepihak. Kebutuhan untuk meningkatkan pemasaran produk pun tidak jarang menghalalkan berbagai cara.

Pencetus konsep ini, Pierre Bourdieu menyebut, bahwa kekerasan simbolik dapat terjadi karena di antaranya ada faktor kekuasaan kapital, yaitu kapital ekonomi sebagai pemilik kuasa. Pemikiran Bourdieu ini bila dikaitkan dengan produksi iklan, maka dalam praktik pemasaran produk, kebanyakan iklan didesain sebagai hasil olah kuasa simbolik. 

Visualisasinya dikemas untuk  membangun persepsi khalayak tentang realitas sosial-budaya, yang secara tanpa sadar dan bertahap diakui sebagai "pengetahuan". Akibatnya, ketika "pengetahuan tentang produk" ini dipromosikan secara berulang dan berlangsung dalam jangka waktu lama, maka yang terjadi adalah pesan iklan diterima sebagai "sebuah kebenaran", dan konsumen pun dibuat percaya tanpa merasa perlu menuntut penjelasan yang lebih konkrit.

Inilah yang dikatakan pakar komunikasi visual, Marcel Danesi dari University of Toronto sebagai revolusi iklan (2011). Revolusi iklan produk memang didesain untuk "menggoda" konsumen melalui sinergisitas tren "kekinian", hiburan, dan "janji-janji", bahkan kerap "mendorong orangtua agar percaya bahwa memberikan produk tertentu pada anak mereka akan menjamin hidup dan masa depan yang lebih baik bagi anak".

Hal ini perlu diwaspadai!  Terutama untuk iklan pangan yang menyasar anak-anak. Pasalnya, jika ternyata "janji masa depan yang lebih baik" ini di kemudian hari malah merugikan kesehatan anak-anak, bahkan berpotensi mendatangkan penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes atau stroke, juga memicu obesitas di kehidupannya yang masih belia, siapa yang harus bertanggung jawab?  Jelas, ini strategi iklan yang menyesatkan. Bila strategi iklan semacam ini menyangkut produk pangan yang tidak sehat untuk dikonsumsi anak-anak, dan dibiarkan tanpa regulasi, tentu sangat berbahaya.  

Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik, dalam pernyataannya di Sumbawanews.com (11/11) mengatakan bahwa "Untuk pangan yang mempunyai dampak merugikan kesehatan manusia, khususnya anak-anak dalam jangka panjang sebaiknya harus ada pengaturan khusus untuk promosi atau iklan yang ketat, tidak bisa menggunakan regulasi yang diperuntukkan bagi pangan pada umumnya. Contohnya, pangan dengan kadar gula tinggi seperti minuman ringan atau susu kental manis mutlak harus diatur terpisah, termasuk pemberian label khusus. Pangan seperti ini tidak boleh diiklankan dengan menggunakan model anak-anak atau diperuntukkan anak-anak."

Dengan kata lain, persoalannya terletak pada "bagaimana mengiklankan atau memasarkan produk pangan secara tepat". Produsen harus lebih bertanggung jawab dalam memasarkan produknya. Etika periklanan dalam ketentuannya juga telah melarang memanfaatkan kepolosan anak-anak dan menjadikannya target sasaran. Informasi tentang komposisi produk pangan perlu disajikan secara lebih edukatif, sehingga sekaligus menambah wawasan konsumen. Konsumen pun, khususnya orangtua yang mempunyai anak-anak di bawah 10 tahun, harus lebih kritis dalam menyerap iklan pangan yang banyak tayang di media elektronik.

Anak-anak saat ini, yang ditargetkan oleh pemerintah sebagai Generasi Indonesia Emas 2045, adalah sebuah tantangan  bagi pembangunan kesehatan nasional. Generasi yang menjadi pilar kekuatan bangsa. Generasi yang akan menorehkan sejarah Indonesia di masa depan.

Gerakan Indonesia Emas ini sebenarnya sudah digembar-gemborkan sejak tahun-tahun sebelumnya. Ada Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), ada gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kini gemanya semakin dikumandangkan ke seluruh pelosok negeri. Ini disebabkan komitmen untuk mewujudkan Indonesia Emas  memerlukan sinergi dari semua sektor, termasuk peran aktif keluarga. Sinergi ini juga hanya dapat dicapai bila ada kesadaran, kemauan, kemampuan, dan terutama tekad untuk hidup sehat di dalam diri setiap individu, termasuk di dalamnya, tanggung jawab sosial produsen untuk ikut mensukseskan program pemerintah tersebut.

Sadari "kekerasan simbolik" terhadap anak-anak melalui iklan pangan tidak sehat. Lindungi kesehatan anak-anak sejak dini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun