Mohon tunggu...
Win WanNur
Win WanNur Mohon Tunggu... Freelancer - Kopi dan Traveling

Pembaca kompas yang menulis novel

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum, Mengembangkan atau Justru Membunuh Kecerdasan?

10 Juli 2019   00:27 Diperbarui: 10 Juli 2019   02:33 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membaca doktrin yang sangat bias gender dan mengecilkan peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat ini. Tidak mengherankan kalau banyak orang berprasangka bahwa buku ini dibuat oleh tim penyusun yang semuanya laki-laki.

Tapi faktanya  malah sebaliknya saudara-saudara. Pertanyaan seperti ini justru dibuat oleh tim penyusun yang berisi tiga orang yang dua di antaranya (mayoritas) PEREMPUAN. Fakta ini dengan telak menghantam pandangan teman-teman saya para pembela hak-hak perempuan di Aceh, seperti Kak Suraiyya Kamaruzzaman dan adik saya Arabiyani yang getol mengkampanyekan "Hanya perempuan yang paling mengerti kebutuhan perempuan"... Ho ho ho...

Selamat datang di dunia nyata wahai kakak dan adikku. Inilah kenyataan itu. Banyak penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa di Indonesia ini kaum perempuanlah yang paling getol melanggengkan dan memperkuat dominasi nilai-nilai patriarkis dalam masyarakat kita. Fakta bahwa dua dari penyusun buku ini adalah perempuan hanyalah salah satu dari sekian banyak bukti itu.

O.K, sekarang kita kembali ke soal evaluasi di buku ini.

Menurut saya, nuansa dan tata nilai yang akan diterima oleh anak-anak sebagai pondasi tata nilainya akan sama sekali berbeda seandainya para penyusun buku ini mengawali pertanyaannya dengan sebuah cerita tentang anak yang katakanlah bernama Wati yang biasa berbelanja dengan ibunya. Lalu dalam pertanyaan evaluasinya ditanyakan berdasar pengalamannya, dengan siapakah Wati biasa berbelanja? Ini jelas lebih masuk akal.

Setelah membaca buku ini. Sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya ingin membuat jutaan anak Indonesia menjadi hard disk berjalan dengan cara membunuh potensi kecerdasan, kreatifitas, daya imajinasi serta sifat kritis anak. Kurikulum pendidikan Indonesia tampaknya hanya ingin memproduksi anak-anak yang hanya bisa mengulang dengan tepat apa yang dikatakan oleh orang dewasa.

Jadi masihkah kita tidak peduli? Masihkah kita lebih sibuk membahas sistem zonasi dibandingkan dengan KURIKULUM yang menjadi jantung dari pendidikan negeri ini?

)Bersambung ke bagian II)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun