DIGITALISASI telah menyertakan suatu konsekuensi baru dalam tatanan komunikasi massa, juga antar personal, yakni munculnya sikap sensitivitas. Era digital membawa 'Media Baru' satu yang kita kenal saat ini dinamakan Media Sosial (Medos). Kajian ilmiah akademik mengatakan Generasi Millenial dan Gen Z, juga Alfa, mereka dikategorikan sebagai pemilik zaman digital, generasi X dan tentu Beby Boomers, dan sebelumnya 'menumpang' sebentar lagi akan beranjak pergi.
- - - - - - - - - - -
Apakah masalah yang mungkin ditimbulkan dengan kehadiran resiko Medsos?. Jawabannya sensitivitas karena sensor manusia yang alamiah itu berbeda dan memang diciptakan berbeda oleh Sang Khalik. Status anda di Medsos, bisa direspon berbeda oleh setiap pribadi. Disitulah letak masalahnya, dinamai dengan istilah 'Kecerdasan Emosional'.Â
Dalam naskah ilmiahnya, dikutip berbagai penulis dunia, Â Deborah Tannen yang juga penulis "Gender and Communication" menunjukkan bahwa kesadaran diri dan empati penting dalam memahami setiap perbedaan yang mungkin timbul dalam komunikasi terkhusus antara gender. Tannen menekankan bahwa kecerdasan emosional membantu setiap orang mengatasi miskomunikasi yang sering terjadi karena perbedaan cara berkomunikasi antara pria dan wanita.
Kepada mahasiswa di kelas kuliah saya, gambar buku di bawah milik Mikael Krogerus dan Roman Tschappeler, hanya ilustrasi, saya ingin mengatakan kepada anda bahwa sepekan terakhir ini, setidaknya ada 2 atau 3 orang yang terusik (merasa) 'diserang' karena tulisan panjang saya, tanpa disadari bahan kuliah kita itu dinilai menyasar, mengenai diri pembaca.Â
Seperti kalimat pembuka di atas, status Medsos bisa menyentuh lebih jauh dalam setiap pribadi, tanpa disengaja. Tentu saja saya tak perlu bersusah payah menjawab, karena sensor pada diri manusia pasti berbeda. Sensitivitas respon manusia terhadap pernyataan orang lain, meskipun tidak ditujukan kepadanya, sering disebut sebagai "kepekaan sosial" atau "empati". Begitulah sederhananya untuk bisa memahami kasus sensi.
Kepekaan sosial adalah kemampuan individu untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, sementara empati adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan merasakan emosi orang lain. Kedua istilah ini mencerminkan kemampuan seseorang untuk merespons pernyataan atau situasi dengan pemahaman emosional dan sosial. Karena studi komunikasi berkembang oleh sebab sumbangan banyak ilmu, satu diantaranya ilmu psikologi, maka saya memilih Daniel Goleman, penulis buku "Emotional Intelligence."Â
Goleman menjelaskan pentingnya empati sebagai bagian dari kecerdasan emosional dan bagaimana hal itu berdampak positif pada hubungan interper- sonal dan profesional. Namun, dia juga mencatat bahwa empati berlebihan dapat menyebabkan kelelahan emosional. Istilah millenialnya kerap kita dengar "Capee deeh".
Goleman mengidentifikasi beberapa poin penting sebagai dasar kecerdasan emosional (EQ) manusia diantarnya; a) Kesadaran Diri (Self-Awareness), yakni kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi diri kita. Menyadari bagaimana perasaan  berpengaruh pada pikiran dan tindakan kita; b) Pengelolaan Diri (Self-Regulation) atau dikenal juga dengan kemampuan untuk mengelola atau proses pengendalian emosi, khususnya emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan.Â
Disiplin, integritas, kemampuan untuk tetap tenang dan berpikir jernih saat di bawah tekanan; c) Motivasi Diri (Self-Motivation) yakni dorongan internal untuk mencapai tujuan, terlepas dari imbalan eksternal. Semangat, optimisme, dan komitmen terhadap tujuan pribadi dan profesional; terakhir d) Empati (Empathy), yakni kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang tentu dirasakan orang lain.