Mohon tunggu...
Wiman Rizkidarajat
Wiman Rizkidarajat Mohon Tunggu... -

Pelari 11 km | pernah aktif di band metal bernama Spider's Last Moment

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Haruskah Meminta Cina Berkorban Lagi?

30 April 2014   22:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:00 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menghadapi gelaran Pemilihan Umum Presiden 2014, kita sudah pasti dihadapkan pada akan  terjadinya sebuah pergeseran kekuasaan. Meskipun pergeseran kekuasaan kali ini relatif aman karena dilaksanakan melalui cara yang legal yaitu pemilu yang sah dan didukung dengan makin tingginya kadar pelaksanaan demokrasi di Indonesia, namun kita harus tetap mewaspadai gejala yang telah terjadi dalam pergeseran kekuasaan pada orde-orde yang lalu. Pergeseran kekuasaan kali ini menurut penulis perlu diberikan perhatian lebih karena melibatkan tumbangnya sebuah rezim atau orde yang sebelumnya berkuasa, yaitu rezim yang dipimpin oleh SBY. Seperti kita ketahui dalam pergeseran kekuasaan tiap orde yang lalu selalu memakan korban sebuah etnis, yaitu etnis Cina. Gejala tersebut mau tidak mau membuat penulis mengajak pembaca untuk mewaspadai kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi dalam pergeseran kekuasaan kali ini.

Merunut lewat sejarah, kekerasan terhadap etnis cina dalam pergeseran kekuasaan pertama kali terjadi ketika Orde Lama yang dipipmin Ir. Soekarno runtuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap etnis cina pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru didasari pada sentimen terhadap negara Republik Rakyat China yang merupakan anggota poros negara komunis yang digagas oleh Ir. Soekarno dalam Poros Peking-Jakarta-Pyongyang, yang dianggap mempengaruhi terjadinya insiden G30S. Etnis China yang sudah kadung dianggap sebagai etnis pendatang yang justru menjadi “bendara” di negeri Indonesia dianggap banyak terlibat dalam insiden yang hingga saat ini masih kabur kejelasannya. Setelah Orde Lama tumbang, kita semua mengetahui bahwa Indonesia membekukan hubungan diplomatisnya dengan Republik Rakyat China sebagai imbas dari anggapan sepihak negara kita mengenai keterlibatan Republik Rakyat China pada insiden G30S.

Pengakuan telanjang mengenai pembantaian etnis tionghoa pada masa tersebut dapat kita lihat secara sekilas dalam film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang berjudul “The Act Of Killing”. Dalam film tersebut kita mendapati gurauan antara Adi dan Anwar, bekas jagal orang komunis pada masanya, yang merasa terjebak dengan jargon masa itu antara ganyang cina atau ganyang mertua (dalam film tersebut diceritakan Adi yang sedang melakukan sweeping tidak sengaja bertemu dengan orang tua pacarnya pada saat muda dahulu).

Ketika rezim Orde Lama runtuh dan bergeser menjadi Orde Baru, kekerasan terhadap etnis cina terjadi pun terjadi saat Orde Baru berada diujung keruntuhannya. Kasus Mei 1998 adalah sebuah bukti sejarah yang mengerikan mengenai bagaimana etnis cina selalu menjadi sasaran atau bahkan mungkin lebih tepat dianggap sebagai tumbal dalam setiap berakhirnya sebuah orde atau rezim.

Pada Era Reformasi niat pemerintah untuk menghapus stigma bahwa kekerasan terhadap etnis cina, yang pada era reformasi mendapat sebutan etnis tionghoa, dilembagakan oleh negara mulai bermunculan  melalui putusan-putusan yang bersifat konstitusional. Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa contoh antara lain Pertama dengan permintaan maaf Abdurrahman Wahid, yang saat itu menjabat sebagai Presiden, kepada keluarga dan keturunan korban pembantaian setelah terjadinya G30S. Bagaimanapun kita tidak dapat memisahkan permintaan maaf Presiden ini dari upaya perlindungan terhadap etnis tionghoa, sebab tidak sedikit etnis tionghoa pada masa lalu menjadi korban peristiwa paca G30S akibat sentimen yang penulis jelaskan pada penjelasan diatas. Kedua dengan menjadikan hari raya-hari raya etnis tionghoa sebagai hari libur nasional dan Ketiga dengan memberikan kebebasan kepada etnis tionghoa untuk dapat mempertontonkan kebudayaan mereka dimuka umum. Untuk contoh ketiga ini penulis beranggapan meskipun etnis tionghoa di Indonesia telah berakulturasi dengan kebudayaan Indonesia, mereka tetap tidak dapat secara penuh dipisahkan dengan kebudayaan leluhur mereka, sehingga pembebasan etnis tionghoa untuk mempertunjukan kebudayaan mereka di muka umum adalah lambang bahwa negara melalui kebijakannya mengakui keberadaan mereka. Untuk sejenak pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid kita merasa diskriminasi yang terjadi terhadap kaum tionghoa dalam skala yang masif sudah sangat jarang terjadi. Selain itu kekhawatiran penulis akan adanya kekerasan etnis terhadap etnis tionghoa pada pergeseran kekuasaan pun tidak terjadi, hal tersebut terbukti dengan lancarnya transisi kekuasaan dari tangan Abdurrahman Wahid menuju Megawati yang cenderung aman.

Ketika pemilu 2004 dan 2009 memberikan jalan kepada SBY untuk menjadi penguasa kekuasaan eksekutif, ketakutan penulis mulai muncul sebab dari penjelasan diatas gejala kekerasan terhadap etnis tionghoa wajar terjadi ketika pemerintahan di Indonesia membentuk sebuah rezim. Penulis memberikan pemaknaan kata tersendiri pada “rezim” yang dimaksud dalam tulisan ini sebagai sebuah masa berkuasa suatu pemerintahan yang panjang, merujuk pada aturan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 dimana Presiden memiliki masa jabatan 5 tahun untuk kemudian dapat dipilih kembali sekali lagi setelah masa jabatan pertamanya habis. Dengan tidak dimungkinkannya lagi terdapat sebuah rezim yang berkuasa sangat lama seperti Orde Lama dan Orde Baru, SBY dapat dikatakan telah membentuk suatu rezim karena dia berkuasa dalam periode 2 kali berturut-turut.

Apabila pada masa Orde Lama kekerasan terhadap etnis tionghoa terjadi akibat anggapan keterlibatan etnis tersebut dalam G30S dan pada masa Orde Baru kekerasan diakibatkan oleh sentimen kesenjangan sosial antara miskin (pribumi-jawa) dan kaya (tionghoa), penulis memiliki ketakutan pada berakhirnya rezim SBY nanti kekerasan disebabkan oleh karena pelembagaan pembiaran yang dilakukan oleh negara dalam berbagai konflik. Seperti kita ketahui rezim SBY adalah rezim yang sangat pemaaf, bahkan cenderung tidak tahu mau berbuat apa, pada kekerasan-kekerasan horizontal yang terjadi dalam masyarakat. Lazimnya kekerasan horizontal yang terjadi pada rezim SBY merupakan kekerasan yang berlatar belakang agama atau sekte dimana satu agama dominan di negara ini memiliki legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan pejabat negara yang berwenang sehingga kelompok dominan tersebut berhak melabeli siapapun yang tidak sejalan dengannya sebagai kelompok yang "kafir". Dengan terbiasanya SBY bergerak lambat untuk menangani kekerasan-kekerasan tersebut, bukan tidak mungkin  celah-celah kekerasan terhadap etnis tionghoa secara besar-besaran yang telah lama tertutup dapat kembali menganga.

Sekali lagi, kita dengan akal sehat dan dengan cita-cita kita untuk meletakan kemanusiaan diatas segalanya, kita harus bersama menjaga agar pergeseran rezim kali ini tidak meminta cina untuk kembali berkorban.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun