Mohon tunggu...
Irma Irawati
Irma Irawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Seorang Ibu yang menyediakan waktu sepenuhnya untuk anak-anak, sambil sesekali menulis. Sangat tertarik pada dunia anak-anak dan hal-hal berbau tradisional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Possesif

7 Desember 2012   15:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:02 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam kian merambat sepi. Lampu-lampu di rumah yang terletak di deretan paling sudut telah lama meredup. Tapi belum semua penghuninya benar-benar terlelap. Di kamar utama rumah itu, Dewi Arimbi dan Raditya masih berbisik-bisik dalam obrolan menjelang tidur. Bagi Arimbi, perbincangan di pembaringan adalah hal yang paling disukainya. Ia bisa menyampaikan banyak hal tanpa beban. Bercerita tentang anak-anak, aktifitas hariannya, bahkan hal yang sensitif sekalipun. Menurutnya, suasana rileks bisa mengubah tema yang berat sekalipun menjadi terasa ringan.

Aku nggak mau egois mas. Jika mas tak bahagia di sisiku. Monggoo... seandainya Mas punya pilihan yang tepat dengan hati,” setengah berbisik Arimbi menyampaikan gelisah hatinya.

Legaaa rasanya, usai mengucapkan hal itu pada sandaran hatinya. Sejujurnya, entah berapa lama Arimbi dilanda gelisah dengan segumpal rasa yang membuat hatinya gundah gulana. Rasa tidak percaya diri seolah terus membayang-bayangi langkahnya. Heuuuh, bener-benar seperti hantu. Arimbi ingin menepis rasa itu. Tapi ia tetap mengganjal, selama Arimbi belum mengungkapkannya. Mengurainya helai demi helai. Hingga rasa itu akan terjawab, setelah mengetahui bagaimana Radit menyikapinya. Rasa itu kerap menyelinap saat Arimbi mengeja jejak-jejak perjalanan rumah tangganya yang tak bisa dikatakan mulus. Ada saja onak yang ia lalui. Dan Arimbi sangat menyadari bahwa onak itu berasal darinya. Duri itu hadir karenanya.

Dan rasa percaya diri itu?..... dialah buah berduri dari benih yang ditanamnya. Dialah rasa yang lahir akibat sikap yang telah disulamnya sejak lama. Hemm, senaif itukah Arimbi? Ya, Arimbi memang naif. Tepatnya, sikap posesifnya yang begitu naif.

Arimbi yang posesif membuat Radit tak tahan dengan kecemburuan yang ditampakkan Arimbi. Dan itu bukan sekali dua kali menjadi pemicu konflik di antara mereka. Hingga puncaknya, Radit benar-benar marah. Emosinya tak dapat dibendung lagi. Mengalahkan akal sehatnya. Membuat kata-kata tak terkendali. Hingga kalimat itu pun terlontar. Kalimat dahsyat yang hingga kini membayangi langkah Arimbi. Kalimat yang membuat Arimbi teramat sakit hingga dilanda rasa tidak percaya diri yang hebat.


Sebenarnya, aku tidak mencintaimu Rimbi. Aku menikahimu karena berbekal iman, itu saja! aku berharap kamu benar-benar istri shalihah yang kudambakan. Tapi ternyata, aku kecewa denganmu.”

Kalimat itu bagai petir di siang bolong yang membuat Arimbi serasa tersengat. Kakinya seolah tak berpijak lagi. Arimbi hanya bisa menangis. Ini semua salahnya. Bukan salah Radit. Maka, wajar jika Arimbi yang harus menelah buah pahit nan berduri itu. Bukankah ia yang menanam?

Arimbi tahu, bahwa Radit memilihnya bukan karena kecantikan atau lainnya. Melainkan Radit menyimpan harap pada Arimbi, bahwa dirinya mampu menjadi istri yang membuatnya tenang dan nyaman dalam rumah tangga yang dibangunnya. Namun kenyataannya, Arimbi kerap mencemburui Radit yang pandai bergaul. Yang tak jarang, banyak teman wanitanya terlihat begitu akrab dengan Radit. Bahkan di mata Arimbi, terlalu dekat.

Arimbi yang masa remajanya membatasi kontak dengan lawan jenis, menganggap sikap Radit itu berlebihan. Ia tak rela mengetahui Radit pulang bareng dengan teman wanitanya, sampai diantar ke depan rumah. Ia tak rela melihat Radit berlemah lembut di telepon dengan sahabat perempuannya. Ia tampak kan kecemburuan itu di depan Radit dengan diam membisu dan bersikap tak acuh. Sedang Radit tak suka diacuhkan. Hingga akhirnya konflik pun tak terelakan lagi.

Keadaan itu lah yang membuat Radit lelah, tak nyaman dan akhirnya terlontar kalimat itu. Kalimat yang menorehkan luka yang dalam di hati Arimbi. Namun juga membuat Arimbi sadar, bahwa dirinya telah bersikap tak sepantasnya di mata suami. Mana Arimbi yang kata orang baik?.... mana Arimbi yang kata orang shalihah? Ternyata Arimbi tidak ada apa-apanya. Jika tak mampu memberi kenyamanan bagi jiwa suami, apalagi yang bisa diharapkan dari seorang Arimbi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun