Mohon tunggu...
William Manggala Putra
William Manggala Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peneliti untuk datamakro.com

Peneliti untuk datamakro.com | Pelaku UMKM |

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketika Dunia Sibuk Bicara Reflasi, Apa Kita Sudah Siap?

20 Maret 2021   20:46 Diperbarui: 20 Maret 2021   20:55 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil Google Trend Terhadap "Reflation" (Dokpri)

Reflasi yang lagi ramai dibicarakan di tingkat dunia, justru belum terlalu terdengar di Indonesia. Padahal, reflasi ini bisa menjadi ancaman untuk Indonesia.

Sebelum masuk ke pembahasan, izinkan penulis memberikan konteks. Reflasi secara mudah dapat diterjemahkan sebagai usaha untuk membangkitkan perekonomian, dus meningkatkan inflasi. Topik ini lagi ramai sekali dibicarakan. Berdasarkan data Google Trend di tingkat worldwide, pencarian kata reflasi meningkat pesat hingga ke level 100 di bulan Februari, tertinggi sepanjang masa pencatatan Google dari tahun 2004. Selain itu, reflasi juga menjadi topik utama beberapa laporan lembaga keuangan internasional, salah satunya Bank International Settlement (BIS) yang mengatakan pasar keuangan tengah bergulat dengan prospek reflasi (BIS, Maret 2021).

"Inflasi kok dinaikan? Kan barang-barang jadi serba mahal!" mungkin itu yang muncul di kebanyakan kepala kita-kita yang tinggal di Indonesia. Namun perlu dipahami, untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, mereka telah dihantui masalah disinflasi yang cukup lama (karena masalah secular stagnation) yang kemudian diperparah dengan adanya krisis pandemi Covid pada tahun 2020.

Untuk membangkitkan perekonomian, otoritas fiskal dan moneter di berbagai negara mengambil langkah cepat-cepat untuk segera meng-counter shock dari pandemi ini. Mengikuti resep ala Keynesian, mereka melonggarkan kebijakan moneternya dan juga melakukan ekspansi fiscal secara masif. Teranyar, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menaikan stimulus fiskal dari US$900 miliar menjadi US$1.9 triliun. Kebijakan-kebijakan inilah yang disebut sebagai aksi reflasi.

Lalu kenapa kali ini lebih heboh? Peran bank sentral seperti The Fed menjadi pembeda kali ini. Beberapa bank sentral di negara maju telah mengubah panduan ke depan (forward guidance) dalam menghadapi inflasi. Bila sebelumnya bank sentral bertindak seperti party pooper -- membubarkan pesta yang lagi seru-serunya -- dengan cara menaikan suku bunga ketika target inflasi akan tercapai, saat ini bank sentral memberi kode untuk lebih toleran terhadap inflasi di atas target selama rata-rata jangka panjangnya sesuai. Akibatnya, ekspektasi inflasi yang sebelumnya tertahan oleh posisi bank sentral membumbung tinggi. Ekspektasi inflasi US yang tercermin dari indicator "5-Year Breakeven Inflation Rate" saat ini berada di 2.5%, tertinggi sejak tahun 2008.

5 Year Breakeven Inflation Rate Amerika Serikat (dokpri)
5 Year Breakeven Inflation Rate Amerika Serikat (dokpri)

Lalu apa dampaknya untuk negara berkembang seperti Indonesia?

Yang pasti dan perlu diawasi adalah Rupiah telah terdepresiasi dari 13,910 pada 15 Februari ke 14,408 pada 19 Maret semenjak isu reflasi ini mengungkit timbal balik (yield) obligasi Amerika Serikat tenor 10 tahun dari 1.21% ke 1.73% pada rentang waktu yang sama.

Penulis tidak akan masuk terlalu dalam ke topik moneter dan keuangan bagaimana ekspektasi inflasi menyebabkan yield meningkat dan menyebabkan Rupiah terdepresiasi karena akan membuat artikel ini menjadi bertele-tele. Semoga ada ekonom bank sentral atau lembaga keuangan lainnya yang akan meg-cover topik tersebut. Namun, yang pasti risiko depresiasi Rupiah di tengah situasi reflasi perlu diawasi terutama di tengah pemulihan ekonomi yang membutuhkan pulihnya tingkat kepercayaan konsumen.

Belajar dari sejarah, depresiasi Rupiah yang parah biasanya menyebabkan jatuhnya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK). Pada taper tantrum tahun 2013, Rupiah melemah dari di bawah 10,000 ke atas 12,000; IKK turun dari 120.1 menjadi hanya 107.1 dalam periode yang sama. Sedangkan pada tahun 2015 ketika Rupiah melemah ke 14,600-an; IKK turun hingga ke 97.5, di mana nilai di bawah 100 mencerminkan pesimisme konsumen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun