Mohon tunggu...
William Dima
William Dima Mohon Tunggu... -

Seorang Programmer di perusahaan swasta Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Eksekusi Tanah di Karawang Terus Dilawan

4 September 2014   07:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikutip dari Jurnal Nasional

URL : http://www.jurnas.com/news/147775/Eksekusi-Tanah-di-Karawang-Terus-Dilawan--2014/1/Nusantara/Daerah

PEMERINTAHAN saat ini dan pemerintahan terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla diharapkan memberantas para mafia, termasuk mafia yang merampas hak rakyat atas tanah yang dilakukan oleh para pemilik modal.

Salah satunya terkait aksi pencabutan, atau tepatnya “legalisasi perampasan” hak rakyat atas tanah di Teluk Jambe Karawang. Pemerintahan saat ini dan Presiden terpilih Jokowi juga diharapkan dapat memperlihatkan sikap pro rakyat kecil.

“Pemerintahan Presiden Jokowi ditantang untuk memberantas tindakan seperti ini (perampasan hak atas tanah) yang mengambil untung di atas penderitaan rakyat,” ujar politisi PDI Perjuangan, Valens Daki-Soo SH, dalam siaran pers kepada Jurnal Nasional, Minggu (31/8).

Desakan ini, kata Valens, mewakili suara para tokoh dan penggiat advokasi hak rakyat di Karawang, yang membela kepentingan rakyat, yaitu para petani pemilik dan penggarap tanah yang tergusur raksasa properti Agung Podomoro Land (APL) melalui anak usahanya PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP).

“Perjuangan para petani kecil ini sudah dibantu para politisi dari beberapa partai yang peduli pada nasib dan masa depan mereka. Sebutlah Eva Sundari, Rieke Dyah Pitaloka dan Rahardi Zakaria dari PDI Perjuangan. Begitu pula Ade Komaruddin dan Dadang S. Mochtar dari Golkar, juga H. Daulay dari Partai Demokrat,” ujar Sekretaris Departemen Pertahanan dan Keamanan DPP PDI Perjuangan, yang pada Pemilu 2014 menjadi Caleg DPR RI Dapil Jabar IV (Sukabumi).

Valens, yang juga mantan asisten Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, mantan Wakil KSAD dan pernah menjadi Ketua Umum Pejuang Siliwangi Indonesia itu mengatakan, banyak pihak mensinyalir bahwa dengan kekuatan uang dan akses yang kuat di kalangan elite, pihak kapitalis bisnis properti menggusur rakyat kecil seperti dalam kasus sengketa tanah di Teluk Jambe Karawang yang terletak di Desa Margamulya, Desa Wanasari dan Desa Wanakerta.

Valens mengatakan, ia tergerak ikut membantu karena sejumlah petani yang menjadi korban seperti H. Dodo, H. Minda dan H. Amandus Djuang serta beberapa aktivis seperti Yono dan rekan-rekan Serikat Petani Karawang (Sepetak) berkali-kali menemuinya dan mengisahkan duduk perkara kasus tanah seluas 350 hektar itu. Ia mengatakan, eksekusi atas tanah tersebut selalu tertunda karena masalahnya amat kompleks dan para petani terus melakukan perlawanan. Walau demikian, eksekusi paksa akhirnya dilakukan 24 Juni 2014 dengan mengerahkan sekitar tujuh ribupersonel Polri.

Ia mengatakan, eksekusi tersebut sangat ironis karena beberapa alasan. Pertama, eksekusi itu dilakukan secara paksa, padahal putusan tersebut secara yuridis-formal dan material tidak dapat dijalankan (unexecutable) karena obyek sengketa dan batas-batas tanah yang harus dieksekusi tidak jelas.

Kedua,eksekusi itu dilakukan pada momentum kampanye Pilpres sehingga nyaris luput dari perhatian publik dan sorotan media massa nasional. Ketiga, ribuan personel Polri c.q. Polda Jabar dan Brimob disertai Baracuda dan water canon dikerahkan menghadapi rakyat yang hanya segelintir di lapangan. “Pengerahan personel sebanyak itu lebih dari pengamanan Sidang MK dalam penetapan hasil Piplres, bahkan terkesan seolah menghadapi kaum separatis atau pemberontak bersenjata (armed rebellion). Bahkan hingga kini tanah itu masih dijaga aparat kepolisian. Siapa yang membiayai ribuan personel itu? Dari mana dana operasinya?”ujarnya.

Keempat, Karawang sejak dulu merupakan lumbung beras nasional. “Tergusurnya para petani penggarap lahan seluas itu oleh pengusaha properti besar niscaya menggerus tanah pertanian rakyat dan digantikan oleh proyek bisnis yang hanya menguntungkan kapitalis,” ujar Valens, yang juga tokoh muda asal Flores yang lama aktif di Dewan Pengurus Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) bersama sejumlah tokoh nasional.

Harus Dilawan

Sementara itu, J. Badeoda SH, salah satu pengacara yang mengadvokasi para korban menegaskan, pembangunan daerah yang dilakukan dengan mencabut hak-hak rakyat atas tanah bukanlah tindakan yang mensejahterakan tetapi justru menyengsarakan rakyat. “Tindakan itu bukan demi kepentingan umum melainkan kepentingan pribadi dan kelompok bisnis yang menghalalkan segala cara. Hal ini tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dilawan,”ujarnya.

Menurut Badeoda yang didampingi Yono dan beberapa aktivis Serikat Petani Karawang (Sepetak), terdapat beberapa perkara kepemilikan tanah antara SAMP – anak usahaAgung Podomoro -dengan masyarakat di atas lahan seluas 350 ha di Kecamatan Teluk Jambe Barat Karawang. Perkara tersebut ada yang masih berjalan dan ada pula yang sudah diputuskan. Ia mengatakan, terhambatnya pelaksanaan eksekusi karena putusan tersebut secara yuridis formal dan material tidak dapat dijalankan (unexecutable) karena tidak jelas obyek sengketa dengan batas-batas tanah yang harus dieksekusi sebagaimana tertera dalam amar putusan.

Badeoda menegaskan, putusan unexecutable dinyatakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Karawang sejak tahun 2011. Pelaksanaan eksekusi baru dilakukan secara paksa dengan bantuan ribuan aparat Polda dan Brimob ketika Marsudi Nainggolan menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Karawang yang baru.

“Proses pelaksanaan eksekusi tidak dilakukan secara benar bahkan merupakan tindakan melawan hukum karena putusan dibacakan tanpa menunjuk batas-batas tanah yang jelas tetapi langsung dipatok oleh aparatur kepolisian di atas tanah rakyat yang tidak terlibat dalam perkara yang ada. Ini merupakan tindakan pencabutan hak-hak rakyat secara paksa oleh pengadilan dan aparatur penegak hukum,” tegas Badeoda dari kantor pengacara Amir Syamsuddin.

Ia mengatakan, pengacara SAMP yang menyatakan putusan No. 160 PK/Pdt/2011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No. 272/PDT/2008/PT.BDG juncto No. 2/Pdt.G/2007/PN.Krw telah memberikan kepastian hukum tentang hak atas tanah seluas 350ha kepada SAMP merupakan pernyataan yang menyesatkan karena putusan No. 160 PK/Pdt/2011 juncto No.160/PK/Pdt/2011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No.272/PDT/2008/PT.BDG juncto No. 2/Pdt.G/2007/PN.Krw tersebut justru memberikan  ketidakpastian hukum kepada SAMP dan ketidakadilan kepada masyarakat, mengingat keputusan sejak awal penuh rekayasa karena tidak dilakukan pemeriksaan lokasi/Pemeriksaan Setempat (PS) sehingga tidak jelas tanahnya.

Badeoda mengatakan, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum semakin muncul karena Putusan No. 160 PK/Pdt/3011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No. 272/PDT/2008/PT.BDG juncto No. 2/PDT.g/2007/PN.Krw yang memenangkan SAMP bertentangan dengan beberapa putusan yang memenangkan pihak lain antara lain Putusan MA No. 316 PK/PDT/2007 juncto No. 1526 K/Pdt/2005 juncto No. 497/Pdt/2004/PT.Bdg.

Atas eksekusi yang dipaksakan tersebut, masyarakat yang dirugikan dengan telah melakukan Gugatan Perlawanan terhadap eksekusi yang terdaftar dengan No. 37/Pdt.Plw/2014/PN. Krw. “Masih terdapat perkara lain di atas tanah seluas 350ha tersebut antara SAMP dan anggota masyarakat lainnya sehingga meski sudah terjadi pelaksanaan eksekusi, masalah kepemilikan atas tanah seluas 350 ha tersebut masih belum selesai,”ujarnya.

PEMERINTAHAN saat ini dan pemerintahan terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla diharapkan memberantas para mafia, termasuk mafia yang merampas hak rakyat atas tanah yang dilakukan oleh para pemilik modal.

Salah satunya terkait aksi pencabutan, atau tepatnya “legalisasi perampasan” hak rakyat atas tanah di Teluk Jambe Karawang. Pemerintahan saat ini dan Presiden terpilih Jokowi juga diharapkan dapat memperlihatkan sikap pro rakyat kecil.

“Pemerintahan Presiden Jokowi ditantang untuk memberantas tindakan seperti ini (perampasan hak atas tanah) yang mengambil untung di atas penderitaan rakyat,” ujar politisi PDI Perjuangan, Valens Daki-Soo SH, dalam siaran pers kepada Jurnal Nasional, Minggu (31/8).

Desakan ini, kata Valens, mewakili suara para tokoh dan penggiat advokasi hak rakyat di Karawang, yang membela kepentingan rakyat, yaitu para petani pemilik dan penggarap tanah yang tergusur raksasa properti Agung Podomoro Land (APL) melalui anak usahanya PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP).

“Perjuangan para petani kecil ini sudah dibantu para politisi dari beberapa partai yang peduli pada nasib dan masa depan mereka. Sebutlah Eva Sundari, Rieke Dyah Pitaloka dan Rahardi Zakaria dari PDI Perjuangan. Begitu pula Ade Komaruddin dan Dadang S. Mochtar dari Golkar, juga H. Daulay dari Partai Demokrat,” ujar Sekretaris Departemen Pertahanan dan Keamanan DPP PDI Perjuangan, yang pada Pemilu 2014 menjadi Caleg DPR RI Dapil Jabar IV (Sukabumi).

Valens, yang juga mantan asisten Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, mantan Wakil KSAD dan pernah menjadi Ketua Umum Pejuang Siliwangi Indonesia itu mengatakan, banyak pihak mensinyalir bahwa dengan kekuatan uang dan akses yang kuat di kalangan elite, pihak kapitalis bisnis properti menggusur rakyat kecil seperti dalam kasus sengketa tanah di Teluk Jambe Karawang yang terletak di Desa Margamulya, Desa Wanasari dan Desa Wanakerta.

Valens mengatakan, ia tergerak ikut membantu karena sejumlah petani yang menjadi korban seperti H. Dodo, H. Minda dan H. Amandus Djuang serta beberapa aktivis seperti Yono dan rekan-rekan Serikat Petani Karawang (Sepetak) berkali-kali menemuinya dan mengisahkan duduk perkara kasus tanah seluas 350 hektar itu. Ia mengatakan, eksekusi atas tanah tersebut selalu tertunda karena masalahnya amat kompleks dan para petani terus melakukan perlawanan. Walau demikian, eksekusi paksa akhirnya dilakukan 24 Juni 2014 dengan mengerahkan sekitar tujuh ribupersonel Polri.

Ia mengatakan, eksekusi tersebut sangat ironis karena beberapa alasan. Pertama, eksekusi itu dilakukan secara paksa, padahal putusan tersebut secara yuridis-formal dan material tidak dapat dijalankan (unexecutable) karena obyek sengketa dan batas-batas tanah yang harus dieksekusi tidak jelas.

Kedua,eksekusi itu dilakukan pada momentum kampanye Pilpres sehingga nyaris luput dari perhatian publik dan sorotan media massa nasional. Ketiga, ribuan personel Polri c.q. Polda Jabar dan Brimob disertai Baracuda dan water canon dikerahkan menghadapi rakyat yang hanya segelintir di lapangan. “Pengerahan personel sebanyak itu lebih dari pengamanan Sidang MK dalam penetapan hasil Piplres, bahkan terkesan seolah menghadapi kaum separatis atau pemberontak bersenjata (armed rebellion). Bahkan hingga kini tanah itu masih dijaga aparat kepolisian. Siapa yang membiayai ribuan personel itu? Dari mana dana operasinya?”ujarnya.

Keempat, Karawang sejak dulu merupakan lumbung beras nasional. “Tergusurnya para petani penggarap lahan seluas itu oleh pengusaha properti besar niscaya menggerus tanah pertanian rakyat dan digantikan oleh proyek bisnis yang hanya menguntungkan kapitalis,” ujar Valens, yang juga tokoh muda asal Flores yang lama aktif di Dewan Pengurus Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) bersama sejumlah tokoh nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun