Di Ponorogo, Â Pengadilan Agama (PA) mencatat 75 perkara dispensasi kawin anak sejak Januari hingga Agustus 2025. Dari jumlah itu, mayoritas---sebanyak 58 kasus---diajukan karena kehamilan di luar nikah. Angka ini memang lebih rendah dibanding tahun 2024 yang mencapai 123 perkara, tetapi pola dominannya tetap sama: dispensasi kawin digunakan sebagai "jalan keluar" ketika remaja terlanjur hamil sebelum menikah. Fenomena ini mengundang refleksi mendalam, bukan hanya dari sisi hukum, melainkan juga dari perspektif sosial dan budaya.
Secara normatif, Undang-Undang Perkawinan yang direvisi pada 2019 menetapkan usia minimal pernikahan 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, celah hukum tetap ada: dispensasi dari pengadilan. Pasal ini sering menjadi pintu masuk bagi keluarga yang merasa perlu segera menikahkan anak demi "menyelamatkan" kehormatan keluarga, status sosial, dan tentu saja nasab anak yang akan lahir. Dalam banyak putusan, hakim memang mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak, tetapi kita juga patut bertanya: apakah dispensasi kawin benar-benar melindungi anak, atau justru melanggengkan praktik pernikahan dini?
Jika dilihat dari kacamata sosiologi, fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor struktural. Minimnya pendidikan seks dan literasi kesehatan reproduksi membuat remaja kurang memahami konsekuensi hubungan seksual. Stigma sosial yang keras terhadap kehamilan di luar nikah mendorong keluarga mengambil langkah cepat: menikahkan anak. Di sisi lain, keterbatasan ekonomi, akses kontrasepsi, hingga melemahnya pengawasan orang tua memperbesar kerentanan ini. Tekanan sosial dan budaya, terutama pada anak perempuan, sering menjadikan mereka pihak paling dirugikan. Pernikahan dini berisiko memutus pendidikan, membatasi kesempatan ekonomi, bahkan meningkatkan potensi kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, tak bisa diabaikan bahwa dispensasi kawin juga muncul sebagai solusi pragmatis. Di mata sebagian keluarga, menikahkan anak yang hamil lebih cepat dianggap lebih baik daripada menghadapi stigma anak luar nikah. Status hukum anak menjadi pertimbangan penting, begitu pula perlindungan dari gosip sosial yang bisa berlangsung seumur hidup. Dilema inilah yang membuat hakim berada pada posisi sulit: menyeimbangkan antara kepentingan hukum, moralitas sosial, dan hak anak.
Fenomena dispensasi kawin di Ponorogo menunjukkan satu hal: kita sedang berhadapan dengan masalah struktural yang belum selesai. Negara, masyarakat, dan keluarga masih sibuk "memadamkan api" alih-alih membangun sistem pencegahan. Edukasi seks komprehensif, akses layanan kesehatan remaja, serta pendampingan psikososial belum optimal dijalankan. Jika akar masalah tidak disentuh, angka dispensasi kawin bisa jadi akan terus berulang setiap tahun. Pada akhirnya, ini bukan sekadar urusan hukum agama atau pengadilan, melainkan juga cermin wajah masyarakat dalam memperlakukan anak dan perempuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI