Program Keluarga Berencana (KB) adalah program yang dirancang oleh pemerintah untuk menekan angka kelahiran dan bertujuan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan jumlah penduduk demi kesejahteraan masyarakat. Pengertian KB menurut UU No. 10 tahun 1922 (tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera) adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak mengingat banyaknya angka kematian yang terjadi pada bayi baru lahir, membentuk keluarga kecil yang sejahtera, dan menekan angka kelahiran di Indonesia. Menurut survey yang telah dilakukan 80% wanita mengikuti program KB sedangkan 20% lainnya tidak (Maulida et al.,). Menurut kemenkes RI tahun 2021, data wanita usia subur sebanyak 71.570.465 dan hampir seluruhnya menggunakan kontrsepsi hormonal yang terdiri dari kontrsepsi suntik (48,56%).Macam-macam KB bervariasi, bisa berbentuk pil, suntikan, implan, IUD (intrauterine device), spiral, dan kondom.
Di Indonesia akseptor KB suntik DMPA memiliki persentase terbesar yaitu 49,93%. Penggunaan alat kontasepsi berupa suntik dianggap paling aman serta mendapatkan peminat paling tinggi karena lebih efektif, mudah, tidak perlu mengonsumsi pil setiap hari dan tidak memberikan efek samping yang mempengaruhi produksi ASI, serta dapat digunakan pasca kelahiran. Cara kerja KB suntik ini yaitu dengan menyuntikkan hormon progresteron intra muskule yang menyebabkan lendir vagina menjadi lebih kental, sehingga menghalagi sperma masuk ke dalam rahim. Selain itu, keuntungan penggunaan suntik KB ini dapat menurunkan risiko berbagai macam penyakit, penyuntikan hormon progesteron pada tubuh wanita dapat mencegah penyakit payudara, peradangan daerah panggul, anemia, dan penyakit reproduksi lainnya.
Namun, efek jangka panjang yang ditimbulkan apabila terlalu lama menggunakan KB suntik dalam jangka waktu lebih dari 3 tahun dapat memberi efek samping. Diantaranya dapat menghentikan siklus menstruasi, meningkatkan risiko kista ovarium. Bahkan, National Institute Cancer menyebutkan bahwa KB hormonal bisa meningkatkan risiko kanker bagi penggunanya. Risiko yang paling besar adalah kanker serviks, kolorektal, ovarium, endometrium, dan payudara. Hal ini disebabkan karena hormon estrogen dan progesteron harus merangsang perkembangan dan pertumbuhan hormon sintesis yang sama. Faktor tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan masing - masing individu yang berbeda. Pentingnya pemberian edukasi terhadap wanita usia subur dalam penggunaan KB yang bijak agar terhindar dari hal -- hal yang tidak diinginkan serta perlu adanya konsultasi terlebih dahulu kepada doktek atau perawat untuk membantu memantau proses berjalannya KB.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi KB melalui suntikan memberi manfaat dan efek samping tersendiri tergantung seberapa lama penggunaannya. Penggunaan alat kontarsepsi ini sendiri dianggap paling aman dan efektif karena penggunaannya yang tidak memerlukan biaya yang mahal serta tidak menimbulkan efek samping yang signifikan dalam jangka waktu tertentu. Penting adanya konsultasi kepada dokter atau perawat agar bisa memamntau progres selama berjalannya program KB.
KATA KUNCI: KB, Kesehatan, Suntik, Â WanitaÂ
REFERENSI:
Â
Tim Promkes RSST. 2022. Benarkah Ada Efek Samping pada KB Suntik? https://keslan.kemkes.go.id/view_artikel/1995/benarkah-ada-efek-samping-pada-kb-suntik [online]. (diakses tanggal 29 Agustus 2025).
Situmorang, E, V, N., 2025. Dampak Menggunakan Alat KB Hormonal dalam Waktu Lama. https://www.tempo.co/gaya-hidup/dampak-menggunakan-alat-kb-hormonal-dalam-waktu-lama-1354367 [online]. (diakses tanggal 29 Agustus 2025).
Emha, M, R., 2024. Kesehatan Reproduksi: Efek Program Keluarga Berencana (KB) Terhadap Wanita Usia Subur. Jurnal Kesehatan Madani Medika, 15(1), pp. 106-115.
Febry, M, Z, dkk., 2024. Program Keluarga Berencana dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga. 2(2), pp. 1-10.