Mohon tunggu...
Wijanarto
Wijanarto Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

#mencintai sejarah #positiv thinking# niku mawon {{{seger kewarasan}}}

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pakeliran Sudah Paripurna: Mengenang Ki Enthus Susmono

7 Maret 2020   12:18 Diperbarui: 7 Maret 2020   12:22 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Urip iku getas

            Ukuli benang

                        (Slamet Gundono)

 

 

            Tanpa Enthus Susmono, mungkin kawasan Tegal tak bisa diperhitungkan dalam jagat pewayangan. Meski di Tegal telah lahir beberapa dalang kondang seperti dalang Darto, dalang Kampyun serta ayah Enthus Susmono sendiri, dalang Soemardjadihardja. Dalam jagat pewayangan, Enthus Susmono mendobrak gaya pedalangan yang selama ini diasosiasikan sebagai normatif dengan bahasa Jawa kromo inggil. Bagi Enthus untuk masyarakat Tegal, Brebes dan sekitarnya, itu tidak akan berhasil. Pertunjukan wayang baginya bukan seni pertunjukan yang lebur dengan masyarakat. Melalui dialek lokal Tegal, Enthus menyadari kekuatan bahasa bukan hanya strategi komunikasi namun sebagai basis identitas. Selain Enthus Susmono, terdapat nama Slamet  Gundono yang mengelaborasi dialek lokal sebagai basis identitas.

            Di tangan Enthus Susmono, wayang (khususnya wayang golek) bukan sekadar sarana, tapi subyek yang mengartikulasikan pribadinya yang melahirkan arena komunikasi bagi dirinya dengan pihak lain dengan menggelar teatrikal wayangnya. Bahasa yang sarkas, joke-joke menohok sekaligus bahasa yang gluweh, menjadikan pertunjukan wayang Enthus drama teatrikal politik oposisional. Wayang-wayang karikatural dan menjumbuhkan pesona kaum pinggiran seperti Lupit dan Slenteng kerap menjadi inti pertunjukan wayangnya. Disandingkan dengan tokoh-tokoh pinggiran seperti Darno si pemabuk atau tokoh bindeng (cedal) Sugeng melahirkan dialog-dialog yang membuat makjleb.

            Bagaimana seorang Darno pemabuk menggugat Kyai saat ada yang  menyeletuk dalam dialog sebagai berikut :

            "E, mas Darno, mas".

          "Apa ?"

           "Kieh, aja sok kan mendem"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun