Pernahkah kita berhenti sejenak lalu bertanya apa yang sebenarnya membentuk diri kita hari ini? Apakah sekolah yang kita jalani, pekerjaan yang kita tekuni, atau kota yang kini kita tinggali? Ataukah justru ada sesuatu yang lebih mendasar tanah asal yang melahirkan orang tua kita, tempat mereka bertumbuh, lalu menurunkan jejaknya kepada kita?
Setiap manusia lahir dari tanah tertentu yang memberi warna pada hidupnya. Ada yang berasal dari tanah Sunda dengan bahasanya yang lembut dan ramah. Ada yang tumbuh di tanah Jawa dengan budayanya yang teduh dan penuh kesabaran. Ada pula yang dilahirkan di tanah Minang, Batak, Bugis, atau ratusan suku lainnya.
Masing-masing tanah menyimpan hujan, angin, dan kearifan berbeda, namun semuanya sama-sama memberi akar yang menegakkan diri kita.
Hujan yang Menetes di Tanah Pasundan
Dari tanah Sunda, aku belajar tentang arti kelembutan. Bahasa yang menetes seperti hujan di pucuk daun, pelan, lirih, namun meresap hingga ke dalam hati. Dari tanah itu, orang-orang diajarkan untuk menundukkan kepala, menjaga tutur kata, dan menyalami hidup dengan senyum yang tulus.
Sunda bukan sekedar nama daerah di peta. Ia adalah cara pandang, sebuah laku hidup. Dari sanalah lahir keyakinan bahwa kelembutan bukanlah kelemahan. Justru kelembutan sering kali menjadi kekuatan paling abadi yang mampu meruntuhkan tembok amarah dan menenangkan jiwa yang gaduh.
Beringin Jawa, Keteguhan yang Membumi
Hidup tidak berhenti di sana. Dari tanah Jawa, aku belajar tentang keteguhan. Tentang sabar yang tak tergesa, tentang diam yang bukan menyerah, tentang rendah hati yang justru meninggikan nilai hidup.
Tanah itu mengajarkan melalui simbol pohon beringin di alun-alun berdiri kokoh, memberi teduh, melindungi siapa pun yang singgah di bawahnya. Ia tak berisik, tapi selalu hadir. Ia tak tergoyahkan meski dihantam badai. Dari sanalah aku memahami arti keteguhan, sikap yang membuat langkah tetap berpijak di tengah guncangan.
Dua Tanah, Dua Karakter, Satu Jiwa