Waktu kecil kita diajarin kalau negara ini negara hukum. Kata guru di sekolah, "Hukum itu panglima."Â
Tapi makin gede, makin sadar, ternyata panglimanya suka ngantuk, atau kadang pura-pura nggak lihat.
Di tengah situasi kayak gini, jadi sarjana hukum tuh unik. Campuran antara ngerti aturan, tahu cara debat, tapi juga harus kuat-kuat tahan emosi lihat kenyataan. Kadang beneran mikir, "Nih saya kuliah hukum 4 tahun, buat apa ya? Biar bisa nonton hukum dilanggar tiap hari?"
Kuliah Hukum: Modal Mimpi dan Semangat
Waktu pertama kali masuk fakultas hukum, semangatnya luar biasa. Pengen jadi pembela rakyat, pengen bikin hukum lebih adil, pengen ubah sistem yang busuk. Tiap diskusi kelas rasanya kayak latihan jadi hakim MK.
Dibekali teori-teori hebat: rule of law, due process of law, access to justice, equality before the law. Semua kedengeran keren. Tapi ya itu, teori... sementara praktiknya sering kayak plot sinetron.
Misalnya:
- Pasal yang jelas-jelas dilanggar, tapi pelakunya bebas karena "nggak cukup bukti".
- Kasus kecil cepat diproses, kasus besar malah menguap kayak disiram parfum.
- Orang kaya punya pengacara mahal, orang miskin ditanyain, "Tahu pasal apa kamu langgar?"
Lulus: Bukan Dunia Hukum yang Menantang, Tapi Hukum yang Sering Nggak Jalan