Hidangan Teh Gopek: Warisan Leluhur
Oleh: Widodo, S.Pd.
Pendahuluan
Teh Gopek bukan sekadar minuman, melainkan kenangan yang menghangatkan hati. Di kampung, ibu selalu menyiapkannya untuk ayah sebelum berangkat bekerja. Asap tipis dari teko logam mengepul di dapur tanah, menandai pagi yang baru. Tiada hari tanpa teh bagi ayah, seorang pekerja keras yang setiap hari mengayuh sepeda ontel sejauh 16,9 km dari rumah menuju pasar Tempel, Sleman.
Seteguk teh yang manis dan hangat seolah menjadi bahan bakar semangatnya. "Ngombe teh sek, ben ora ngantuk," katanya sebelum berangkat. Dalam setiap hirupan teh Gopek, tersimpan doa, kasih, dan ketekunan hidup orang-orang desa.
Pembahasan
1. Minum Teh, Tradisi dari Mbah Giyah dan Mbah Tegal
Sebelum ayah, ada sosok yang lebih dahulu menanamkan kebiasaan minum teh di keluarga kami --- Mbah Giyah dan Mbah Tegal. Setiap pagi, aroma teh kental bercampur wangi kayu bakar menyambut kami di dapur. Teko tanah liat, gelas kaleng bergambar bunga mawar, dan gula nira menjadi saksi keakraban keluarga.
Teh bagi mereka bukan sekadar minuman, tetapi sarana berbagi cerita. Sembari menyesap perlahan, Mbah Giyah sering berkata, "Teh iku kudu disruput pelan, ben iso ngrasakke legi, pait, lan anget."
(Teh itu harus diseruput perlahan, supaya bisa dirasakan manis, pahit, dan hangatnya.)
2. Teh Gula Kereng
Istilah "kereng" berasal dari bahasa Jawa yang berarti intip gula --- sisa nira yang mengeras saat proses pembuatan gula merah. Dulu, Mbah Giyah sering menggunakan kereng sebagai pemanis teh. Rasanya khas, sedikit gosong dan berpadu sempurna dengan aroma teh Gopek.
Teh gula kereng diseduh saat sore hari, ditemani pisang goreng atau getuk lindri. Minuman sederhana itu menghadirkan kehangatan yang tak tergantikan oleh kemewahan zaman.