Wasit ... Oh, Wasit! Ketidakpuasan terhadap wasit lagi-lagi muncul dari jagat persepakbolaan Tanah Air. Ya, di balik kekalahan Bhayangkara FC dari Barito Putera pada pekan ke-29 Liga 1,kinerja wasit kembali menjadi sorotan. Kali ini sorotan datang dari Simon McMenemy, pelatih Bhayangkara FC, yang menyatakan ketidakpuasannya atas kinerja wasit Iwan Sukoco. Bermain di Stadion 17 Mei, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Minggu (15/10, Simon dengan jelas menyebut bahwa kinerja wasit sangat mengecewakan, seperti dilansir dari laman www.tribunnews.com (*)berikut:
"Semuanya sudah melihat betapa buruknya kinerja wasit tadi. Ada beberapa keputusan yang tidak paham diantaranya mengenai pagar betis," ucap Simon menambahkan.
Kekalahan yang dianggap menyakitkan itu bagi Simon McMenemy itu, pada waktu bersamaan justru menyenangkan bagi empat klub lain yang berada pada posisi lima besar di tabel klasemen sementara. Kini, jarak antara Bhayangkara FC dengan keempat klub lain di posisi lima besar klasemen Liga 1 Â semakin merapat. PSM Makassar pun "mengambil keuntungan" dengan menipiskan jarak menjadi 4 poin, setelah mengandaskan Persib Bandung dengan skor 2-1.Â
Kembali pada kontroversi sosok pengadil di lapangan hijau. Insiden lebih parah terjadi pada laga antara tuan rumah Madura United saat menjamu Borneo FC pada hari Jumat (13/10). Wasit Hasan Akrami, sempat diserang oknum suporter tuan rumah yang tak puas dengan kepemimpinan wasit asal Iran tersebut. Selama pertandingan, seperti dilansir laman www.kompas.com (**), konsentrasi wasit juga sempat diganggu dengan sinar laser yang terus diarahkan kepada dirinya, termasuk lemparan botol air mineral ke arah lapangan.Â
Kartu kuning kedua yang dilayangkan wasit kepada Dane Milovanovic diduga menjadi puncak kekesalan pendukung tuan rumah terhadap kinerja wasit. Gomes de Oliviera, pelatih Madura United, juga nampak kecewa dengan performa wasit pada pertandingan yang berakhir imbang (1-1) tersebut.
Susahnya menjadi wasit di Indonesia
Saya tak hendak membela kinerja wasit yang buruk ketika memimpin pertandingan. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa sangat susah menjadi wasit di Indonesia. Sejarah kelam perwasitan di Indonesia pun terekam dengan sangat jelas dalam memori persepakbolaan nasional, seperti dilansir www.goal.com (***), tiga di antaranya:
2003 -- pemukulan wasit Subandi oleh beberapa pemain nasional, antara lain Hendro Kartiko, Bedjo Sugiantoro, Aples Tecuari, karena dianggap memihak tuan rumah. Â
2004 -- Jimmy Napitupulu juga pernah menjadi korban pemukulan saat jeda pertandingan antara Persebaya Surabaya melawan Persib Bandung. Dampaknya, Jimmy tak bersedia meneruskan memimpin pertandingan (harus diganti).
2013 -- Pieter Rumaroopen yang kala itu membela Persiwa, terbukti melakukan kekerasan fisik terhadap wasit Muhaimin, yang berbuah sanksi larangan bertanding seumur hidup di kancah persepakbolaan nasional.
Selain kualitas wasit yang perlu terus diperbaiki, juga sanksi terhadap wasit yang terbukti memimpin dengan buruk atau membuat keputusan kontroversial, penghormatan terhadap wasit menurut saya juga perlu dibenahi, baik oleh para pemain, para pelatih, juga para pendukung. Tindakan "spontan" yang sudah berlangsung puluhan tahun dengan melempar benda ke dalam lapangan, menganggu wasit dengan sinar laser, makian (maaf) "Wasit goblog!!!" yang dahulu kerap terdengar, hingga serangan fisik terhadap wasit jelas tak dapat dibenarkan.
Ingatlah bahwa wasit juga sesama manusia, yang juga sama-sama "mencari makan" di lapangan hijau dengan tugasnya sebagai pengadil. Tugas yang (menurut saya) tak seberat para pemain, karena harus "mengadili" 22 manusia yang sedang bertanding, plus menghadapi potensi ketidakpuasan karena dianggap merugikan salah satu atau kedua tim yang bertanding.Â
Repotnya, ketika wasit sudah bertugas dengan baik dan tegas, lantas membuat keputusan yang "dianggap" salah satu tim yang bertanding, protes keras langsung dilayangkan, terkadang tanpa mempedulikan (menganalisis) apakah si pemain bersalah atau tidak. "Pokoknya kalau tim saya rugi, ya wasit harus diprotes," komentar begini terkadang masih muncul juga, pertanda ada ketidakpuasan..
Masih mending  jika ketidakpuasan itu hanya disampaikan secara verbal, setelah pertandingan usai, atau melalui pengajuan protes tertulis kepada induk sepak bola Indonesia yang lantas akan menindaklanjutinya. Namun, ketidakpuasa jika disampaikan secara "langsung" tentu akan memperberat kinerja wasit yang sedang bertugas. Kita pun nampaknya masih akrab dengan aksi protes dengan mengerubungi wasit, menunjuk-nunjuk muka wasit, melolot ke arah wasit hingga mata hampir keluar, dan yang paling ngawur  dengan melakukan kekerasan fisik berupa pemukulan, menendang, hingga mencekik wasit!
Para pelaku kompetisi sepak bola di Tanah Air seolah tak belajar dari liga profesional di Eropa yang setiap pekan disiarkan secara langsung. Lihatlah bagaimana para pemain sepak bola di Eropa, yang sekalipun kesal, tetapi berusaha tetap menghormati dan menghargai wasit. Protes yang dianggap terlalu keras atau berlebihan di mata wasit, bsia dikenai hukuman kartu kuning. Kita pun masih ingat beberapa waktu lalu ketika wasit "mengusir" Jose Mourinho dengan sekali acungan kartu merah, hanya karena pelatih Manchester United itu kedapatan melangkah di luar kotak yang ditentukan untuk seorang pelatih atau manajer tim.
Tentu hal ini tak dapat dipukul rata juga, karena sesekali ada pula reaksi yang berlebihan dari para pemain terhadap wasit. Komentar pedas juga tak jarang muncul saat sesi konferensi pers akibat ketidakpuasan pelatih. Jika kebetulan komentar itu dianggap berlebihan, denda cukup besar pun berpotensi diganjarkan kepada sang pelatih. Namun, secara umum, kualitas penghormatan mereka terhadap sosok pengadil itu sudah jauh lebih bagus, dibandingkan dengan yang ada di negeri kita.Â
Jadi, kira-kira kapan para pelatih di kompetisi Tanah Air bisa berhenti mengeluhkan kinerja wasit? Sampai kapan para pemain bisa lebih menghormati wasit, sekalipun membuat keputusan yang kurang menguntungkan? Mungkin sampai budaya menghormati wasit ditunjang dengan ketegasan dari pihak yang berotoritas untuk menindak tegas setiap perlakuan berlebihan terhadap wasit. Hal ini juga termasuk ketegasan memberi peringatan dan sanksi ketika wasit tak bertindak secara adil saat memimpin pertandingan.Â
Lagipula, pemberian peringatan dan sanksi merupakan hal yang wajar dalam sebuah pekerjaan, apa pun jenis pekerjaannya. Cemenbanget sih  kalau baru sedikit terkena peringatan atau sanksi (karena ulah sendiri), tetapi lantas merespons dengan sikap berlebihan, apalagi menyerang! Mungkin ke depan, perkara komentar terhadap wasit, bisa mulai dibuatkan peraturan dan sanksinya, mulai dari sanksi dilarang mendampingi pemain saat pertandingan, maupun sanksi berupa denda uang dengan nominal cukup besar.Â
Harapan saya (dan kita bersama), biarlah sepak bola tak hanya menjadi hiburan bagi rakyat Indonesia, tetapi menjadi sarana pembelajaran untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, juga menjadi pembelajaran mengenai ketegasan terhadap pelanggaran suatu peraturan. Hal yang mustahil terwujud tanpa kerja sama dari semua pihak, karena masa depan sepak bola Indonesia tergantung peran aktif dan positif dari kita semua. Saya bahkan membayangkan, suatu ketika, generasi muda (anak-anak dan remaja) akan mendapatkan contoh yang bagus mengenai etika profesionalitas kerja dan menghargai orang lain, ketika mereka melihat orang-orang dewasa bisa mencontohkan hal itu di layar televisi atau berita di media massa, media cetak, dan media online  dari berita seputar persepakbolaan nasional.
Bisakah hal itu terwujud? Semoga!
Â
Salam olahraga!
-wsp-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI