Ketika hendak naik pesawat terbang, biasanya orang khawatir dengan beberapa resiko bahaya seperti faktor cuaca dan kelaikan pesawat. Namun, kini agaknya penumpang mesti menambahkan satu hal lagi, yakni apakah pilotnya pakai narkoba atau tidak. Kompas.com (4/2/2012) memberitakan bahwa sudah tiga pilot Lion Air ditangkap karena menggunakan sabu-sabu. Kabar tentang tertangkapnya pilot Lion Air berinisial SS di Surabaya (4/2/2012), bahkan langsung menyebar ke seluruh dunia. Berita yang bersumber dari The Associated Press (AP) banyak dilansir oleh situs berita terkemuka. Setidaknya ada The Washington Post, SkyNews, NBC12, Newsday dan masih banyak lagi yang di laman online-nya memuat berita memalukan tersebut. Saat kasus ini menjadi sorotan dunia, tentu timbul suatu pertanyaan, apakah yang dilakukan otoritas penerbangan dan pihak maskapai di Indonesia, kok pilot bisa leluasa menggunakan narkoba? Belum lagi dampak pemeritaan ini secara global akan semakin membuat orang asing akan berpikir panjang menggunakan maskapai Indonesia.Terlebih sebelumnya pesawat Indonesia beberapa kali mengalami kecelakaan dan dikenal sebagai jago ngaret alias delay. Bagi Lion Air, ini jelas publikasi buruk untuk sebuah maskapai yang baru saja mencuat namanya ketika November tahun silam menorehkan rekor dunia kesepakatan komersial terbesar dalam sejarah Boeing dengan memesan sejumlah 230 pesawat Boeing 737 MAX senilai US$ 21,7 miliar (sumber Tempo.co). Penandatanganan kesepakatan itu bahkan disaksikan langsung oleh Presiden AS Barack Obama saat berkunjung ke Nusa Dua, Bali, waktu itu. Dilema Konsumen Dari beberapa komentar para pembaca berita online, banyak yang menyerukan boikot terhadap Lion Air. Namun, menurut saya hal itu justru akan merugikan konsumen juga. Lion Air di Indonesia telah tumbuh sebagai maskapai terdepan dalam hal dibutuhkan konsumen, ini karena kombinasi faktor harga murah, banyaknya penerbangan serta jenis pesawat yang relatif baru dibandingakan yang lain. Saya sendiri yang kerap menggunakan Lion untuk rute Jakarta-Kendari, merasakan ketergantungan terhadap maskapai ini meski pada kenyataannya sering dikecewakan masalah delay dan bagasi. Tapi bagaimana saya mau berpaling dari Lion jika jadwal penerbangannya paling banyak pilihannya. Mau pilih maskapai lain seperti Garuda, sudah pasti harganya selangit. Sementara Sriwijaya dan Batavia yang hanya sekali terbang PP Jakarta-Kendari, jenis pesawatnya terasa kurang meyakinkan bagi sebagian besar konsumen. Inilah dilema konsumen penerbangan domestik Indonesia. Penumpang selalu menjadi pihak yang kalah posisi. Seperti kasus delay yang sudah menjadi makanan sehari-hari, maskapai toh dengan bermacam alasan selalu bisa merugikan penumpang. Tapi kalau penumpangnya yang telat sedetik check-in saja, sudah harus membayar lebih untuk tiket baru. Satu lagi ketidakadilan di pesawat, saat kita berada di dalam pesawat tentu selalu diperingatkan untuk tidak merokok. Di atas tempat duduk ada juga lampu peringatan dilarang merokok. Namun saya berani bertaruh, meski belum pernah masuk ke ruangan kokpit, pasti di sana tidak ada tanda larangan nyabu bagi sang pilot. Nah…