Dear Ramadan, tahun ini Idul Fitri telah membentangkan tangan, mengucapkan selamat datang. Usai sudah keakraban kita, yang sebenarnya nggak akrab-akrab banget.
Atau mungkin aku yang sok akrab? Sok merasa dekat dengan sang Ramadan, sok merasa nikmat dan bertambah takwa ketika Ramadan.
Kepada Ramadan tahun depan, sebenarnya aku malu menuliskan surat ini. Aku merasa kecil dan tidak pantas berharap engkau membukakan pintu kesempatan untuk kesekian kalinya.
Ramadan, harus aku akui engkaulah bulan paling mulia. Umat muslim dijanjikan mendapatkan hidayah, ampunan dari Allah SWT, terhindar dari api neraka, hingga pahala yang berlimpah. Itu jika benar-benar menjalankan ibadah di bulan Ramadan dengan sebenar-benarnya.
Namun, entahlah, mungkin aku hanya bisa pasrah karena sejatinya aku tak pernah bisa benar-benar berusaha keras meningkatkan level ibadah dan keimananku di bulan suci ini.
Memang benar aku berpuasa, tetapi mungkin hanya lapar dan dahaga yang aku dapatkan.
Memang benar aku shalat tarawih, tetapi mungkin tidak sekhusyuk itu dan sempat membiarkan deretan shaf jamaah di mushala semakin hari semakin maju.
Jika Ramadan mampu membuat orang lain lebih baik dan lebih sabar, mungkin di bagian itu pun aku gagal. Aku masih ingat terpancing emosi ketika dihardik orang saat berdesakan di kereta. Aku pun pernah merasa kesal ketika terjebak kemacetan saat berburu takjil menggunakan sepeda motor.
Momen Ramadan tahun ini, mungkin pikiranku lebih banyak disibukkan dengan urusan-urusan duniawi seperti enaknya beli takjil apa, makan apa untuk buka puasa atau sahur, sampai dengan kapan THR cair.
Aku juga terlalu sibuk tertawa melihat orang lain "mokel" karena tidak kuat menahan godaan saat puasa. Aku juga sempat sibuk mengomentari dan malah mencoba bagaimana rasanya joget velocity.