Seperti lazimnya sore hari di jam sibuk, KRL Commuterline hampir selalu dipadati oleh para penumpang yang rata-rata para pekerja ibu kota yang hendak pulang menuju rumah masing-masing.Â
Situasi pandemi dan segala aturannya di dalam KRL, bisa membuat jarak antar penumpang hanya menyisakan jarak sejengkal saja. Beda dengan dulu yang bisa saling berhimpitan.
"Adek makan dulu deh, bentar lagi Mama pulang ya sayang," suara lirih seorang perempuan terdengar dari posisi yang tak jauh dari saya.
Meskipun aturan di masa pandemi melarang penumpang untuk bicara antar penumpang atau menggunakan telepon, tapi momen obrolan seperti itu masih kerap terjadi. Dan tentunya, siapa yang akan memprotes ketika ada seorang ibu tengah berbicara dengan anaknya yang tengah menanti di rumah?
Percakapan seperti itu kerap saya temui di perjalanan menggunakan KRL Commuterline. Tak hanya via perbincangan telepon biasa, bahkan video call dengan anak di rumah pun bisa membangun sebuah pemandangan yang menyentuh bagi yang melihatnya.
Mereka adalah kaum ibu pekerja yang rela berjibaku menggunakan transportasi massal murah meriah. Rela mengantre panjang sebelum masuk peron andai terjadi penumpukan penumpang yang melebihi batas.Â
Mereka pun rela berdesakan, bersenggolan satu sama lain serta rela berdiri sepanjang perjalanan. Nyaris tak ada kaum ibu pekerja yang melakukan hal itu jika bukan didorong oleh keterpaksaan.Â
Biaya transportasi dari kota-kota pinggiran seperti Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang menuju tempat mencari nafkah di Jakarta, sungguhlah teramat besar jika tidak mengandalkan KRL Commuterline.