Bukan Pak RT yang melarang saya mudik, juga bukan Ketua RW dan Kades di tempat saya merantau, tapi ibu saya. Dalam sebuah percakapan video call pekan lalu, ibu saya menegaskan permintaannya dengan penuh haru.
"Pokoknya lebaran tahun ini nggak usah mudik, kamu nggak usah ke mana-mana, duh ngeri banget di luar itu, mending di rumah jaga kesehatan, jaga anak istri, kesehatan lebih berharga," ucap ibu saya yang sudah sepuh.
Saya hanya bisa manggut-manggut. Kalimat itu sebenarnya hanya pengulangan dari ucapan beliau kira-kira sebulan sebelum virus corona heboh dibicarakan orang. Sebelumnya ibu saya memang menyarankan saya tidak perlu mudik, tapi dengan alasan yang berbeda.
"Nak, kalau kamu nggak mudik tahun ini nggak papa, libur cuma sebentar, uyuk-uyukan orang ramai gitu, nggak seberapa, mending uangnya ditabung bisa mudik lain kali," ujarnya.
"Uyuk-uyukan" adalah istilah beliau menggambarkan situasi orang ramai berondong-bondong.
Saya tahu pasti, bahwa orang tua saya yang tinggal di sebuah daerah di Jawa Tengah itu selalu membuka pintu lebar-lebar jika saya pulang mudik, kapanpun itu. Orang tua mana yang nggak kangen atau kepengen ketemu anak cucunya? Tapi sungguhlah saya merasa beruntung memiliki orang tua yang bijak melihat kondisi anaknya.
"Itu kenapa ya kok yang pada mudik malah nularin virus ke kampung? Apa sudah parah banget ya di Jakarta?" tanya ibu saya.
Tentu saja pertanyaan itu saya jawab semampu saya dengan hati-hati supaya beliau mengerti. Saya katakan karena tidak semua orang yang kena virus corona merasakan gejalanya. Bisa saja di keseharian merasa sehat ternyata ketika dites terbukti sudah terkena virus corona.
Saya juga katakan, mungkin saja semula seseorang sehat dan bebas dari virus corona tetapi ketika dalam perjalanan mudik terkena penularan di tempat-tempat umum seperti bandara, stasiun dan terminal. Mungkin kena pas mampir jajan di warung saat perjalanan, atau di toilet umum , dan sebagainya.
Jawaban saya mungkin kurang pas ditilik dari sisi medis karena saya memang bukan ahli. Tapi setidaknya itu jawaban normatif dan bisa diterima. Agar ibu saya pun bisa memberi sedikit pemahaman kepada orang-orang di sekitarnya.
"Oh yo wis lah, sing penting ati-ati saiki jaga kesehatan," ujarnya.
Larangan mudik dari ibu saya sudah pasti bakal saya turuti, karena memang sangat beresiko jika saya memaksakan mudik. Saya nggak punya alat semacam "pintu ke mana saja" milik Doraemon yang bisa membawa kita sekejap pergi ke manapun.Â
Perjalanan mudik saya bakal menempuh waktu berjam-jam lamanya, paling cepat memakan waktu setengah hari . Tidak ada jaminan corona tidak berkeliaran sepanjang perjalanan.
Bagi saya mungkin oke-oke saja jika nggak mudik. Tapi mungkin tidak semua orang merasa oke jika nggak mudik. Apalagi jika mereka tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan lagi di perantauan saat pandemi berlangsung. Sebelum musim mudik datang, semoga pemerintah sudah cepat memikirkan solusi terkait hal itu.