Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Masih Mau Pakai Gas Subsidi?

29 Oktober 2017   21:44 Diperbarui: 30 Oktober 2017   12:08 2364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabung Bright Gas warna pink ukuran 5,5 kilogram (foto: widikurniawan)

Pada suatu malam, setahun yang lalu, pulang kerja seharusnya saya langsung mandi, minum teh panas, makan sambil bercengkerama dengan anak dan istri yang seharian ditinggal mencari nafkah. Tapi impian sesederhana itu pun tidak menjadi kenyataan akibat satu hal yang cukup vital dalam rumah tangga, yakni ketika gas elpiji habis!

"Maaf Yah, tempenya baru mau digoreng gasnya udah keburu habis..." kata istri saya.

Apa mau dikata, gas elpiji 3 kilogram milik kami memang hanya bertahan maksimal dua minggu dan kami tidak memiliki cadangan. Akhirnya saya pun harus lari ke warung terdekat karena penjual gas langganan kami yang bisa pesan antar mengatakan tidak punya stok.

"Maaf Pak, gasnya habis," ternyata jawaban inilah yang saya dapatkan ketika mendatangi beberapa kios.

Malam semakin larut, sudah hampir jam 9 malam dan tubuh saya terasa makin lengket karena belum mandi. Pencarian pun saya lakukan dengan mengendarai sepeda motor, radius pencarian menjadi semakin jauh.

Bagaimanapun saya harus berhasil mendapatkan gas malam itu juga. Mungkin bisa saja saya menyerah dan berakhir dengan makan malam tanpa lauk tempe goreng favorit saya, tapi saya mesti memikirkan kebutuhan untuk esok paginya. Intinya saat gas habis, ritme kehidupan serasa oleng.

Saya sudah jauh menggeber sepeda motor dan hampir patah semangat, tapi tiba-tiba teringat sesuatu. Sebenarnya tak jauh dari rumah saya, meski beda RT, ada satu warung sayur yang buka sampai malam dan biasanya menjual gas melon juga.

Akhirnya saya pun balik arah dan berharap warung itu menjadi akhir dari pencarian saya. Syukurlah Mas Rohmat, pemilik warung itu, belum berencana menutup warungnya karena dia masih lembur mengupas kulit kelapa.

"Mas, ada gas?" tanya saya dengan nafas yang sedikit tersengal.

"Ada, tenang aja, masih ada tiga," jawabnya.

"Wah, saya lupa kalau sini buka sampai malam. Tadi nyari-nyari sampai jauh nggak ada yang jual, habis semua," ucap saya.

"Lha memang lagi susah stoknya, soalnya yang masih pakai gas melon kan banyak Mas, jadi cepat habis. Padahal tahu sendiri lah, ini kan barang subsidi, nih ada tulisannya 'Hanya Untuk Masyarakat Miskin'!"

Jujur saat itu kata-katanya bikin saya terhenyak. Memang selama ini saya tahu ada tulisan 'Hanya Untuk Masyarakat Miskin' pada tabung itu. Tapi tulisan itu saya hiraukan saja, seolah tidak masuk ke dalam benak saya dan saya anggap formalitas belaka.

"Kalau buat orang miskin kok sampeyan tetap mau jual ke saya?" saya mencoba bertanya untuk memancing reaksi Mas Rohmat.

"Gini aja gampangnya Mas, kalau situ beli berarti di mata saya situ memang masih miskin kok... Saya kan cuma kasihan sama situ, hehe..." ucapnya.

Jleb! Kembali kata-kata pemilik warung sayur itu menohok saya. Dalam hati saya malah terjadi perdebatan, sebenarnya saya ini miskin atau tidak sih?

Tabung gas bersubsidi ukuran 3 kilogram (foto: widikurniawan)
Tabung gas bersubsidi ukuran 3 kilogram (foto: widikurniawan)
Gara-gara Mas Rohmat, hari-hari berikutnya saya mencoba survei harga tabung gas 12 kilogram. Tapi kok rasanya sayang uangnya. Bisa jadi saya ini termasuk golongan masyarakat yang sebenarnya tidak mau dibilang miskin, tapi kaya pun tidak karena untuk membeli tabung gas 12 kilogram saja mikirnya terlalu lama.

Hari berganti, pekan berganti dan bulan berganti. Rencana untuk membeli gas 12 kilogram tidak kunjung terealisasi. Hingga akhirnya saya bersorak gembira ketika di sebuah warung kelontong terlihat tabung gas berwarna pink ukuran 5,5 kilogram. Inilah yang selama ini saya tunggu-tunggu karena saat itu beritanya sudah santer tapi belum nongol juga di lingkungan saya yang masuk wilayah Kabupaten Bogor.

Saya pun mampir untuk membeli tabung gas pink tersebut.

"Memangnya nanti stoknya ada terus nggak bu kalau mau isi ulang?" tanya saya.

"Pasti dong Mas, ibu jualan kan nggak cari rugi, jadi justru tabung ini nanti yang bakal dicari orang karena yang subsidi nanti nggak boleh sembarang orang beli," jawaban yang bikin adem dari ibu paruh baya pemilik warung itu.

Tabung gas pink ini bahkan tidak terlalu repot saat dibawa dengan sepeda motor. Maka mulai saat itu, di rumah kami menjadi yang pertama di RT kami yang menggunakan Bright Gas ukuran 5,5 kilogram.

Istri saya sempat kaget ketika tiba-tiba saya pulang membawa gas warna pink.

"Ya ampuuunn... unyu-unyu imut banget..." katanya.

"Makasih..."

"Bukan kamu, gasnya yang imut banget warnanya..."

Ketika kami coba pasang untuk kali pertama, terasa jauh berbeda kualitas dari mulai adanya plastik penutup yang berhologram hingga karet pengaman yang terlihat lebih aman terpasang. Saat regulator gas dipasang, terasa pas, kuat dan tidak longgar. Nah, begitu kompor dinyalakan, wuss... api pun menyala dengan anggunnya.

Ini sangat berbeda dengan pengalaman memakai gas 3 kilogram yang bersubsidi, karena seringkali amat susah menyalakan api di kompor meskipun regulator sudah dipasang.

Plastik penutup seal berhologram (foto: widikurniawan)
Plastik penutup seal berhologram (foto: widikurniawan)
Layanan Home Delivery via Call Center 1 500 000

Meskipun harganya terkesan lebih mahal, tetapi tabung gas pink ini menawarkan hal-hal yang selama ini tidak didapatkan oleh konsumen gas melon bersubsidi. Satu poin lagi yang menjadi nilai plus adalah mudahnya konsumen mendapatkan layanan pesan antar hingga ke rumah melalui call center Pertamina 1 500 000.

Terus terang saya baru mencoba layanan ini sekali dan pertama kali pada Sabtu, 28/10/2017 lalu. Alasannya karena saya ragu dengan layanan seperti ini apakah benar-benar bisa menjangkau rumah saya yang notabene memiliki alamat relatif blusukan ke kampung.

Petugas call center dengan ramahnya menyapa menanyakan nama, alamat serta apakah saya akan membeli tabung gas baru atau hanya refill saja. Saya bilang bahwa saya hanya perlu refill untuk satu tabung gas ukuran 5,5 kilogram.

"Memangnya bisa mbak diantar ke alamat saya?" saya bertanya begini untuk meyakinkan diri bahwa layanan ini memang serius.

Ternyata petugas tersebut mengiyakan tanpa ragu dan meminta saya untuk menunggu konfirmasi ketika tabung akan diantar. Benar saja, tak butuh waktu lama ada telepon masuk, ternyata dari seorang petugas delivery yang akan mengantarkan tabung gas saya. Dia mengonfirmasi alamat dan saya pun mengarahkan lebih detail agar orang tersebut tidak salah alamat.

Akhirnya, petugas home delivery Bright Gas sampai juga ke alamat rumah saya. Ia menggunakan sepeda motor untuk membawa tiga tabung gas yang dipesan konsumen.

"Saya kira kejauhan Mas alamat saya," ucap saya basa-basi.

"Ini belum seberapa Pak, kalau daerah Bogor lainnya malah bisa lebih jauh masuk-masuk ke dalam dan tetap kami layani," jawabnya.

Saya pun hanya manggut-manggut sambil membayar harga refill Bright Gas yang ternyata lebih murah daripada beli di warung.

Jadi kalau sudah begini, ngapain lagi masih memakai gas bersubsidi?

Petugas home delivery Bright Gas yang datang ke rumah konsumen via layanan call center 1 500 000 (foto: widikurniawan)
Petugas home delivery Bright Gas yang datang ke rumah konsumen via layanan call center 1 500 000 (foto: widikurniawan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun