Beberapa tahun terakhir, cuaca terasa semakin sulit diprediksi. Musim hujan dan kemarau datang tidak menentu, bahkan sering terjadi hujan deras di luar musim, atau kekeringan berkepanjangan. Bagi masyarakat umum, ini mungkin hanya dianggap cuaca yang "berubah-ubah." Tapi bagi petani, kondisi ini berdampak langsung pada hasil panen dan penghidupan mereka.
Di Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, para petani mulai merasakan bahwa perubahan iklim ini bukan sekadar isu global, tapi kenyataan yang mereka hadapi setiap hari di sawah.
Suara Petani: Musim Tanam Tak Lagi Bisa Diprediksi
Salah satu petani setempat menyampaikan bahwa biasanya musim hujan tiba di bulan Oktober atau November, namun belakangan ini datangnya sering terlambat atau terlalu cepat. Akibatnya, banyak tanaman padi yang rusak, bahkan gagal panen. Beliau mengatakan bahwa meskipun hanya satu kali panen yang gagal, kerugiannya cukup besar dan sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Petani pun kini harus lebih berhati-hati dalam menentukan waktu tanam. Mereka juga semakin aktif berdiskusi dalam kelompok tani untuk saling bertukar informasi soal kondisi cuaca dan pola tanam yang sesuai. Ini menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan solidaritas antarpetani menjadi kunci penting dalam menghadapi perubahan iklim.
 Adaptasi di Lapangan: Diversifikasi dan Kerja Tambahan
Untuk mengatasi risiko gagal panen, beberapa petani mulai melakukan diversifikasi---misalnya menanam jagung atau ubi sebagai tanaman cadangan. Selain itu, sebagian juga mencari penghasilan tambahan di luar pertanian untuk menutupi kebutuhan keluarga.
Langkah ini sejalan dengan temuan dari berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa diversifikasi tanaman merupakan salah satu strategi adaptif yang cukup efektif dalam menghadapi cuaca ekstrem. Meski belum sepenuhnya mengatasi kerugian, upaya ini membantu petani untuk tetap bertahan dan menjaga keberlangsungan usaha tani mereka.
 Pelatihan: Upaya Sudah Ada, Tapi Masih Perlu Ditingkatkan
Salah satu bentuk dukungan dari pemerintah yang dirasakan oleh petani adalah pelatihan dari dinas pertanian terkait penggunaan pupuk organik dan pengelolaan air. Sayangnya, pelatihan ini masih jarang dilakukan dan belum mencakup seluruh petani. Banyak yang berharap agar kegiatan semacam ini bisa dilakukan secara rutin, mudah diakses, dan merata, terutama di desa-desa seperti Tanjung Selamat.
Berdasarkan berbagai sumber, pelatihan yang efektif dan konsisten tidak hanya meningkatkan pengetahuan petani, tetapi juga membentuk pola pikir yang lebih adaptif dan ramah lingkungan. Penggunaan pupuk organik, pengaturan air yang tepat, serta informasi cuaca yang akurat sangat dibutuhkan agar petani dapat bertani dengan lebih bijak dan siap menghadapi perubahan iklim.
 Penutup: Ketahanan Pangan Dimulai dari Petani yang Kuat
Petani adalah garda terdepan dalam menjaga ketahanan pangan bangsa. Oleh karena itu, dukungan terhadap mereka---baik melalui pelatihan, akses informasi, maupun bantuan teknis---harus menjadi prioritas. Di tengah tantangan perubahan iklim yang semakin nyata, petani seperti yang ada di Sunggal telah menunjukkan bahwa semangat bertahan dan beradaptasi masih sangat kuat. Namun mereka tidak bisa berjuang sendiri.
Kini saatnya semua pihak bersinergi untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan. Karena saat petani kuat, pangan pun terjaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI