Mohon tunggu...
widia dwi aprilia
widia dwi aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Ngudi Waluyo

Saya identik orang yang suka sekali writing, drawing and singing. Saya bekerja di sebuah perusahaan juga sambil kuliah. Saya mengambil jurusan PGSD karena saya punya mindset membangun pendidikan yang bermutu

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peran Guru dalam Mencegah dan Menanggulangi Perokok di Usia Dini : Analisis Mendalam Kasus Banyuwangi

16 Oktober 2025   01:00 Diperbarui: 16 Oktober 2025   00:57 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di Banyuwangi, 792 siswa SD aktif merokok. Banyak pertanyaan muncul, bagaimana mungkin anak-anak sekolah dasar merokok? Apa tanggung jawab sekolah dan guru? Dan tindakan nyata apa yang diperlukan untuk menekan angka ini? Sebagai awalan, penting untuk dicatat, merokok di anak usia ini bukan hanya sekedar kebiasaan. Merokok pada anak bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Nikotin sangat berbahaya di masa kanak-kanak karena dapat merusak perkembangan otak, menimbulkan kecanduan, dan mengakibatkan gangguan pernapasan, serta pertumbuhan paru-paru yang terhambat. Ini semua merupakan bukti yang dihasilkan dari riset yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia dan berbagai organisasi kesehatan serta studi yang dihasilkan oleh institusi medis. 

 Hasil studi ini juga mendorong respons dari dinas kesehatan setempat untuk mendorong “Gerakan Sekolah Sehat” dan perencanaan perda kawasan tanpa rokok. Munculnya pemikiran ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan bukan hanya memandang ini sebagai insiden tunggal. Analisis yang dan memberikan pemahaman yang tepat harus dilakukan untuk mencegah “salah tujuan” yang mengakibatkan fokus pada anak saja. Dini bersifat multi-faktor. Lingkungan keluarga, Anak meniru perilaku orang dewasa ketika melihat orang tua nya merokok. Tekanan teman sebaya, Di usia SD, kebutuhan diterima kelompok bisa mendorong perilaku meniru. Akses dan ketersediaan rokok, Penjualan eceran dekat sekolah, rokok murah/ilegal, dan kurangnya pengawasan penjual memudahkan anak memperoleh rokok. Iklan, kemasan, dan budaya Paparan iklan atau citra “dewasa/gaul” memberi daya tarik tersendiri. Kesenjangan pendidikan kesehatan, Jika sekolah tidak aktif mengajarkan bahaya zat adiktif, kesadaran anak akan rendah. Pendekatan intervensi harus menargetkan faktor-faktor ini secara bersamaan: ketersediaan (supply), permintaan (dari anak), norma sosial, dan regulasi. Konsekuensi kesehatan dan perkembangan (singkat tapi tegas). Ketergantungan jangka panjang: Anak yang mulai merokok lebih besar peluangnya menjadi perokok berat di masa dewasa. Gangguan fisik seperti risiko asma, fungsi paru menurun, dan berkurangnya daya tahan fisik. Dampak kognitif & akademik yang di pengaruhi seperti konsentrasi dan prestasi belajar dapat menurun akibat efek nikotin dan masalah kesehatan terkait. (Kesimpulan umum dari studi kesehatan anak). 

  Karena konsekuensinya sangat serius, pencegahan sejak dini (primary prevention) jauh lebih efektif dan lebih murah dibandingkan upaya menghentikan kebiasaan setelah kecanduan terbentuk. Indonesia memiliki peraturan yang mengatur pengendalian produk tembakau dan perlindungan anak, antara lain PP No. 109 Tahun 2012 yang mengamanatkan perlindungan anak dari produk tembakau dan mengatur kawasan tanpa rokok, termasuk lingkungan pendidikan. Implementasi aturan ini di lapangan sering memerlukan langkah daerah (perda), pengawasan penjualan rokok di sekitar sekolah, dan sinergi antar-institusi. 

 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bukti bahwa intervensi di sekolah bisa berhasil dengan syarat yang tepat. Kajian sistematis dan meta-analisis menunjukkan bahwa program berbasis sekolah dapat mengurangi angka inisiasi merokok, terutama bila program: terstruktur, berbasis bukti (mis. pendekatan social competence/social influence), berlangsung beberapa sesi dengan penguatan (booster), dan melibatkan pelatih terlatih. Beberapa kajian melaporkan penurunan inisiasi sekitar angka yang berarti (contoh: temuan meta-analisis menunjukkan pengurangan jangka panjang hingga sekitar 10–12% pada beberapa program yang efektif). Namun hasil tidak selalu konsisten efektivitas bergantung pada desain dan keberlanjutan program. 

 Kasus Banyuwangi, dengan ribuan anak yang sudah diperiksa (program skrining menjangkau puluhan ribu pelajar di daerah), memberi peringatan keras: pencegahan harus dimulai di lingkungan yang paling dekat dengan anak rumah dan sekolah dan guru adalah kunci. Intervensi yang tepat bukan hanya menurunkan angka perokok, tetapi melindungi kualitas hidup, kemampuan belajar, dan masa depan generasi. 

Mahasiswa PGSD Universitas Ngudi Waluyo

Ungaran


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun