Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Pekerja Sosial

Selayaknya orang biasa.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Harga Sebuah Kewarasan: Pindah (Lagi) dan Mencoba Berdamai Dengan Diri Sendiri

6 Agustus 2025   23:22 Diperbarui: 6 Agustus 2025   23:22 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Daniel F on Unsplash 

Akhirnya saya pindah. Tanpa perlu menyebutkan di mana lokasi baru ini, cukup saya katakan: tempat ini jauh lebih nyaman, lebih manusiawi, dan lebih masuk akal secara moral. Soal harga? Tentu saja lebih mahal. Tapi, seperti yang diajarkan di semester awal teori ekonomi: tidak ada yang namanya "murah" tanpa biaya tersembunyi (hidden cost). Dan saya sudah cukup kenyang membayar biaya tersembunyi berupa stres, frustasi, dan emosi terpendam selama di kos lama.

Cerita ini mungkin terdengar sederhana: anak kos pindah karena masalah AC dan paket. Tapi percayalah, akar masalahnya jauh lebih dalam. Ini bukan hanya tentang suhu ruangan atau kurir yang nyasar. Ini tentang bagaimana segelintir orang menganggap "pemilik lahan" otomatis punya hak mutlak atas hidup orang lain yang kebetulan numpang di lahan tersebut. Anda bayar sewa? Bagus. Tapi jangan coba-coba mengeluh.

Kos lama saya adalah contoh nyata bagaimana konsep "pelanggan adalah raja" berubah menjadi "pemilik adalah dewa kecil". Ketika saya komplain AC tidak dingin, tanggapannya bukan perbaikan, tapi ceramah soal "toleransi dan kesabaran". Ketika saya tanya kenapa paket saya sering nyasar atau ditahan tanpa pemberitahuan, jawabannya malah berputar ke "ini aturan main di sini, kalau tidak suka silakan cari tempat lain."

Sungguh, dalam hati saya bertepuk tangan. Ini adalah pelajaran hidup gratis tentang supply and demand, di mana permintaan akan tempat tinggal murah di kawasan urban membuat sebagian orang merasa punya kuasa untuk menciptakan standar ganda seenaknya. Anda boleh tinggal, asal Anda siap tunduk.

Dan saya, jujur, sudah cukup kenyang dengan permainan standar ganda semacam itu. Terlalu mirip dengan suasana birokrasi tempat saya dulu bekerja, di mana pertanyaan kritis sering dianggap sebagai upaya pembangkangan, dan loyalitas diukur dari seberapa sering Anda mengatakan "baik, Pak/Bu" meski dalam hati Anda tahu betul itu keputusan bodoh.

Ketika akhirnya saya menemukan kos baru, semuanya terasa seperti konspirasi semesta. Lokasinya tidak saya rencanakan, harganya memang di atas ekspektasi, tapi ada bisikan batin yang berkata: "Ini saatnya kamu keluar." Lucunya, proses pindahan yang biasanya ribet dan penuh drama justru berjalan mulus. Satu demi satu halangan yang saya bayangkan akan muncul ternyata tidak ada. Seolah-olah dunia juga sudah lelah melihat saya terjebak di tempat yang salah.

Tentu, sisi ekonom saya tetap berteriak: "Bro, ini biaya tetap harus dihitung." Tapi kali ini saya memilih untuk meminjam konsep intangible benefit, nilai-nilai tak berwujud yang sering kali dilewatkan dalam perhitungan kas formal. Nyaman bangun pagi tanpa merasakan aura sinis pemilik kos? Itu nilai. Bisa menerima paket tanpa rasa was-was? Itu nilai. Tidak perlu memutar otak mencari diksi halus agar kritik tidak dianggap hinaan? Itu nilai yang sangat mahal.

Seorang teman senior sempat berkata, "Di daerahmu itu memang sudah biasa, Zal. Pendatang dianggap harus patuh pada 'tata cara' lokal, meskipun aturan itu hanya berlaku kalau mereka suka." Kalimat itu menyentil saya cukup keras. Betapa seringnya "kebiasaan lokal" dijadikan tameng untuk memaksakan kehendak. Betapa mudahnya sebuah aturan elastis menjadi kaku ketika Anda mulai bertanya. Fenomena ini tidak cuma terjadi di kos, tapi juga di ruang-ruang publik lain: kantor, komunitas, bahkan dalam lingkup keluarga.

Saya ingat dulu saat bekerja di pemerintahan, saya sering heran kenapa prosedur yang jelas di atas kertas bisa berubah-ubah tergantung siapa yang bertanya. Lama-lama saya mengerti, ini bukan soal aturan, tapi soal siapa yang dianggap "punya hak" untuk bicara. Di kos lama saya, hal yang sama terjadi. Penghuni lama, yang sudah hafal pola tunduk, akan mendapatkan dispensasi. Penghuni baru yang mencoba bertanya, dianggap pembangkang.

Keesokan harinya, saya memutuskan keluar dari grup WhatsApp kos lama. Tidak ada alasan untuk bertahan dalam ruang obrolan yang isinya hanya pengumuman sepihak dan instruksi tanpa diskusi. Saya tahu, langkah ini akan mengukir label baru di punggung saya: "mantan penghuni pembuat masalah." Tapi jujur, saya lebih memilih cap itu ketimbang harus terus berpura-pura menerima ketidakwarasan sebagai hal normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun