Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pudarnya Otoritas Politik Kesultanan Cirebon

24 Juni 2020   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2020   16:12 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Bambang Wibiono
_


Saat ini kondisi keraton yang masih ada di Indonesia banyak yang sangat memprihatinkan. Biar bagaimana pun Keraton atau kerajaan yang masih ada saat ini adalah sebuah institusi peninggalan masa lalu dan juga sekaligus sebagai bukti peradaban bangsa. Perjalanan politiknya di masa lalu, khususnya ketika jaman penjajahan Belanda membuat posisi dan kedudukannya berubah saat ini. Dominasi dan pencabutan hak politik atau depolitisasi oleh kolonial turut mempengaruhi perjalanan kerajaan dan kondisinya saat ini. Kondisi ini juga yang mempengaruhi kekuasaan dan kedudukan Keraton Kasepuhan sebagai hasil dari perpecahan Kesultanan Cirebon.

Keraton atau Kesultanan Kasepuhan merupakan institusi tradisional yang secara fakta masih ada di Indonesia, khususnya di Cirebon. Keberadaan kraton di Cirebon memiliki warna tersendiri bagi kehidupan sosial politik dan ketatanegaraan di daerah itu.

Pada masa lalu, kraton adalah simbol kekuasaan dan struktur pemerintahan bagi masyarakat. Dengan berkembangnya jaman modern saat ini, serta berubahnya sistem pemerintahan, mengakibatkan fungsi formal dari institusi kerajaan yang masih ada perlu dipertanyakan kembali. Atas alasan itulah tulisan ini akan mengulas sedikit mengenai bagaimana dinamika kekuasaan dan kedudukan keraton di Kota Cirebon.

Masa Kolonial

Menurut "Dagh Register Anno 1680" (catatan harian VOC) yang dikutip Edi, S. Ekadjati,[1] pada tanggal 17 Maret 1680, Sultan Sepuh (Sultan Raja Syamsudin) mengadakan hubungan dengan Sultan Haji yang merupakan Sultan Banten (diperkirakan melalui utusan khusus). Selanjutnya beberapa waktu kemudian, setelah kontak dengan Sultan Haji, Sultan Sepuh menulis surat kepada Gubernur Jenderal VOC. Surat Sultan Sepuh segera dibalas oleh Direktur Jenderal VOC Cornelis Spellman. Isi surat Sultan Sepuh itu ialah meminta bantuan VOC terhadap gangguan dan ancaman pasukan Banten. 

Beberapa waktu kemudian datanglah pasukan yang dipimpin oleh kapten Jochum Michielsen ke Cirebon untuk merundingkan materi perjanjian persahabatan dengan sultan-sultan di Cirebon dan mengusir pasukan Banten yang mengacau di Cirebon. Pada tanggal 23 Januari 1681, perjanjian persahabatan antara sultan-sultan Cirebon dengan VOC ditandatangani oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon (pangeran Wangsakerta/Panembahan Toh pati) dalam suatu upacara di alun-alun. Dari pihak VOC ditandatangani oleh Commissaris Van Dyck.

Peristiwa penandatanganan perjanjian persahabatan ini merupakan awal dari surutnya eksistensi Cirebon yang pada saat itu sudah berdiri sejak 202 tahun lamanya dan dipertahankan dengan gigih dengan berbagai cara oleh para leluhur Cirebon yang juga leluhur Banten. Perjanjian persahabatan ini sebenarnya merupakan implementasi dan strategi politik VOC yang ingin menguasai Cirebon yang sebelumnya berhasil menguasai Mataram.

Menurut Unang Sunardjo, dalam bukunya Meninjau Sepintas Panggung Sejarah (Penerbit Tarsito, 1983), perjanjian persahabatan ini merupakan dorongan dari Sultan Haji (putra Sultan Ageng Tirtayaasa yang memberontak dan bersekutu dengan VOC) yang meyakinkan sultan-sultan di Cirebon mengenai keuntungan bersahabat dengan VOC.

Selain itu Sultan Haji khawatir jika para pimpinan masyarakat dan pemerintahan di Cirebon yang masih sangat setia kepada Sultan Ageng, masih tetap membantu gerilya laut Banten yang mengganggu VOC di sebelah Timur Batavia, sehingga harus dicari akal untuk menjelekkan pasukan Sultan Ageng yang masih ada di sekitar perairan Cirebon dan di Kota Cirebon. Penandatanganan perjanjian persahabatan itu menimbulkan perpecahan di kalangan para pembesar pemerintahan di Cirebon. Pro dan kontra ini tidak sampai menimbulkan pertumpahan darah.

Setelah penandatanganan perjanjian itu, terjadi proses likuidasi kekuatan politik di Banten. Menurut beberapa sumber, pada masa Panembahan Girilaya beserta putra mahkotanya ditahan oleh Mataram dan terjadi kekosongan pemerintahan di Cirebon, Kesultanan Banten memiliki andil yang besar dalam membantu dan melindungi Cirebon dari ancaman Mataram dan VOC. Bahkan Pangeran Wangsakerta dinobatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin Cirebon selama Sultan dan Putra Mahkota tidak ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun