Mohon tunggu...
Wesnina Nawimar
Wesnina Nawimar Mohon Tunggu... Dosen

Dosen dan praktisi desain fashion berbasis budaya, aktif dalam pengabdian kepada masyarakat dan riset inovatif berkelanjutan. Fokus pada pemanfaatan material lokal seperti jerami untuk eco-fashion, serta pemberdayaan perempuan dan pelajar melalui pelatihan kreatif. Percaya bahwa mode bukan hanya estetika, tapi juga alat transformasi sosial dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna Menyalakan Kembali Api Batik: Napas Maestro Iwan Tirta di Era Digital

16 Oktober 2025   12:17 Diperbarui: 16 Oktober 2025   15:11 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyalakan Kembali Api Batik: Napas Maestro Iwan Tirta di Era Digital
Oleh Wesnina Nawimar

Maestro sebagai Arsitek Budaya
Bagi banyak orang, nama Iwan Tirta identik dengan keindahan. Tetapi bagi dunia budaya, ia adalah arsitek makna- seseorang yang menata filosofi hidup ke dalam pola dan warna. Ia tidak sekadar mencipta motif, melainkan menulis ulang identitas bangsa melalui kain.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Estetika pada Desain Busana (Wesnina & Rahayu Purnama, 2025), setiap desain adalah struktur nilai yang mengandung pesan sosial, spiritual, dan estetika. Dari perspektif itu, batik versi Iwan Tirta menjadi bentuk "arsitektur simbolik": ia menempatkan manusia di tengah pusaran alam, budaya, dan spiritualitas. Maka, memahami Iwan Tirta bukan hanya soal mode, tetapi soal kesadaran budaya.

Makna Menyalakan Kembali Api Batik
"Menyalakan kembali api batik" bukan sekadar perayaan ulang nama besar maestro. Ia adalah panggilan kesadaran kolektif untuk menjaga keberlanjutan nilai. Api batik adalah metafora tentang jiwa estetika Nusantara-roh yang menyala di tangan pembatik, di kelas para mahasiswa desain, dan di setiap ruang dialog budaya. Namun, api ini tidak bisa dibiarkan hidup sendiri. Ia perlu oksigen baru: riset, kolaborasi lintas generasi, dan keterlibatan digital. Tanpa itu, Iwan Tirta akan tetap besar di sejarah, tetapi kehilangan gema di masa kini.

Ketenaran Kultural, Bukan Komersial
Ada dua bentuk ketenaran: komersial dan kultural. Ketenaran komersial diukur lewat penjualan dan media, sedangkan ketenaran kultural hidup dalam pemikiran, tafsir, dan karya. Sebagaimana diuraikan dalam Inspirasi Desain Busana Tradisional (Wesnina, 2024), desain tradisional yang bertahan bukan karena kemewahan tampilannya, melainkan karena kekuatan filosofinya. Iwan Tirta berhasil mengangkat batik ke panggung dunia bukan dengan promosi, tetapi dengan keheningan simbol. Maka, menyalakan kembali api batik berarti menyalakan diksi budaya itu agar kembali berbicara di tengah bisingnya zaman digital.

Batik dan Tantangan Era Digital
Kini, generative AI mampu membuat pola menyerupai batik dalam hitungan detik. Namun, teknologi tak memiliki jiwa simbolik yang dimiliki manusia. Batik bukan sekadar pola; ia adalah doa, nasihat, dan struktur moral yang ditulis dalam malam dan kain. Pertanyaannya: apakah kecerdasan buatan dapat memahami makna "Parang" sebagai lambang keberanian, atau "Kawung" sebagai simbol keseimbangan diri? Di sinilah peran recharging kultural Iwan Tirta menjadi penting-menghadirkan kembali nilai-nilai batik di tengah transformasi teknologi. Dalam istilah Estetika pada Desain Busana, ini disebut harmoni antara nilai, fungsi, dan makna, di mana teknologi hanya menjadi alat, bukan pusat.

Menjaga Api: Dari Arsip ke Aksi
Recharging warisan maestro bisa dilakukan dengan langkah sederhana namun berdampak panjang. Digitalisasi arsip karya Iwan Tirta dapat membuka akses bagi generasi muda untuk mempelajarinya melalui platform terbuka. Integrasi filosofi batik ke dalam kurikulum desain dan fashion juga penting-bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga nilai budaya.
Kolaborasi lintas disiplin antara desain digital, AI, dan keberlanjutan bahan dapat tetap berpijak pada ruh budaya. Begitu pula dengan pameran tematik dan dialog budaya, yang membaca ulang Iwan Tirta bukan sebagai figur sejarah, tetapi inspirasi zaman. Dengan begitu, api batik tak hanya menyala di museum, tetapi juga di pikiran dan tangan generasi baru.

Penutup: Napas yang Tak Pernah Padam
Iwan Tirta telah menulis babak penting dalam perjalanan batik Indonesia. Namun, setiap warisan membutuhkan penjaga agar tidak kehilangan maknanya."Menyalakan kembali api batik" berarti memastikan bahwa nilai, etika, dan estetika yang pernah ditiupkan maestro terus menghangatkan kesadaran bangsa. Kita tidak bisa mengulang Iwan Tirta, tapi kita bisa menyambung napasnya-melalui pendidikan, riset, desain, dan penghormatan yang cerdas pada budaya. Karena api batik bukan hanya milik masa lalu, tapi juga cahaya yang menuntun masa depan mode Indonesia.

Referensi
1.Wesnina & Rahayu Purnama. (2025). Estetika pada Desain Busana. Eureka Media Aksara
2.Wesnina. (2024). Inspirasi Desain Busana Tradisional. Eureka Media Aksara
3.Tirta, Iwan. (2000). Batik: A Play of Light and Shade. Jakarta: Gaya Favorit Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun