Mohon tunggu...
wahyu 'wepe' pramudya
wahyu 'wepe' pramudya Mohon Tunggu... -

full time sinner, full time pastor, full time husband and father. unresolved mystery about grace. Kontak di bejanaretak at gmail dot com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurangi Menunjuk, Perbanyak Memeluk

2 Agustus 2015   07:51 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:11 2974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

Hari itu, Alden (pada waktu itu berumur 3 tahun, seperti gambar di atas)  ingin sekali makan kue kering. Saya dan Vanda sudah sepakat bahwa tidak ada camilan sebelum makan pagi.   Alden menangis keras, berteriak, berlarian dan guling-guling, tapi akhirnya bersedia makan dengan janji kue kering akan diberikan sesudah makan.   Saya yang  akan menyuapi makan, karena mamanya sedang melakukan hal yang lain.

Kebetulan di hari itu  ada makanan kesukaan Alden : tuna saus.  Saya berpikir Alden dengan cepat akan menghabiskan makanan itu.  Namun,  Alden setengah terpaksa makan.  Baru beberapa suap, Alden sudah menolak makan.  "Pedes ..pedes ... huh ...huh ...," kata Alden. "Wah, nakal nih anak. Pasti dia sangat ingin makan roti,makanya dia bilang pedes-pedes" pikir saya.  Saya agak memaksa makan, tapi Alden berlari menjauh. "Betul khan, Alden mau mengambil kue," kata saya dalam hati ketika Alden berlari mau mengambil roti itu.   Saya agak kesal pagi itu, karena saya merasa anak saya ternyata sudah pintar untuk berbohong.   Padahal tentu kami tidak pernah mengajarinya berbohong. Sedih hati saya.

Saya memutuskan untuk membiarkan Alden, dan mengambil makan pagi dengan lauk yang sama seperti Alden.   Ketika saya mengunyah tuna saus itu, ternyata ada yang berbeda  dari biasanya.  Daging tuna itu memang terasa agak pedas karena merica.   Deg ... ya ampun, segera saya merasa bersalah.  Saya sudah berprasangka buruk terhadap anak saya. Beberapa menit kemudian Vanda dari dapur setengah berteriak," Memang agak pedas tunanya ..."  Duer ... meledaklah perasaan bersalah.   Alden benar daging tuna itu pedas.  Alden tidak berpura-pura apalagi mencoba menipu saya.   Saya yang salah.   Saya yang sok tahu.

Satu hal yang terjadi di dalam diri saya ketika mempunyai dan membesarkan anak-anak.  Seiring dengan waktu muncul perasaan dan pikiran bahwa saya selalu tahu yang terjadi dengan anak saya.  Saya tentu memahami beberapa hal tentang diri anak saya, dan apa yang saya pahami itu benar adanya.  Namun, tak bisa terpungkiri, seperti dalam kisah nyata di atas, entah mengapa dalam perjalanan saya malah cenderung menjadi sok tahu.  Sok tahu dengan apa yang terjadi dengan anak, sehingga tak mampu mendengarkan mereka.  Sok tahu dengan apa yang terbaik dengan anak, sehingg tak mampu menampung aspirasi mereka.

Rasa sok tahu dengan apa yang terjadi dan sok tahu dengan apa yang terbaik, menurut saya, melahirkan penghakiman.  Penghakiman yang tentu saja membuat anak merasa tak nyaman untuk berbicara dan membuat mereka merasa tak diterima.  Anak-anak mungkin enggan atau takut berkonfrontasi langsung dengan orang tua, akibatnya mereka diam dan perlahan-lahan menjauh.  Tak bersedia membuka suara, apalagi hati.  Pada titik ini, orang tua sering mengalami kebingungan : mengapa anak-anak tak mau bicara dengan kami sebagai orang tua?  Mengapa anak-anak lebih bisa dekat dan mendengarkan teman-teman mereka? Penghakiman melahirkan jarak.  Jarak melahirkan tanda tanya dan kecurigaan. Tanda tanya dan kecurigaan adalah santapan lezat bagi sikap sok tahu yang bercokol di dalam diri.

Tangan yang menunjuk berbeda dengan tangan yang memeluk.  Tangan yang memeluk lahir dari hati yang ingin mendekat dan telinga yang ingin mendengar.  Tangan yang memeluk menunda keinginan untuk menghakimi karena menyadari bahwa diri tak selalu tahu apa yang terjadi dan apa yang terbaik.  Jika orang tua bersedia untuk mengulurkan tangan, maka jarak pun kian dekat, sehingga anak merasa akrab.  Rasa akrab yang membuka pintu keterlibatan orangtua dalam hidup anak.

Kurangilah  menunjuk, perbanyak memeluk anak-anak kita.

 

ilustrasi : koleksi pribadi

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun