Oleh: Welhelmus Poek -- Pemerhati Pembangunan dan Praktisi Lapangan
Setiap minggu, setiap bulan, bahkan kadang beberapa kali dalam satu minggu, undangan rapat terus berdatangan. Topiknya variatif---mulai dari kemiskinan, stunting, energi terbarukan, perubahan iklim, pendidikan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.Â
Tidak hanya di kantor pemerintahan atau aula pertemuan biasa, melainkan juga di hotel berbintang, dengan layar LED canggih dan sajian kopi premium yang tak pernah absen.
Namun, di balik semua itu, ada satu pertanyaan reflektif yang menggelitik dan semakin nyaring bergema: "Apakah semua rapat ini benar-benar membawa perubahan?"
Jika jawabannya iya, mengapa statistik kemiskinan tidak banyak berubah? Mengapa kualitas pendidikan dasar masih memprihatinkan di pelosok? Mengapa pembangunan desa masih tersandera oleh inefisiensi dan tumpang tindih program?
Boleh jadi, kita sedang menjalani sebuah ritual modern bernama "rapat"---yang lebih mendekati pertunjukan formalitas ketimbang forum pencipta solusi.Â
Rapat hari ini bukan lagi tempat berkumpulnya para pemikir untuk memetakan jalan keluar dari masalah, melainkan arena pencitraan, pembuktian eksistensi, bahkan pembenaran atas status quo yang terus berulang.
Ironi di Balik Layar LCD
Mari kita jujur. Dalam banyak forum resmi, kita sudah terlalu biasa dengan gaya diskusi yang "berjarak".Â
Para peserta datang dengan catatan lama, presentasi baru, dan retorika yang sudah bisa ditebak. Birokrat bicara angka, LSM bicara empati, akademisi bicara teori, dan sektor swasta bicara peluang. Semuanya terasa lengkap, namun nihil tindakan konkrit.
Yang lebih menyedihkan, setelah rapat selesai, berita rilis media langsung terbit: "Stakeholders Sepakat Tangani Masalah Sampah di Kota X". Padahal, yang sepakat hanyalah dalam tataran wacana.Â