Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merenda Kata Bermakna

8 Juli 2021   03:00 Diperbarui: 8 Juli 2021   18:13 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/collections/2046256/word-power

MERENDA KATA BERMAKNA

”Confidence is not just believing you can do it. Confidence is knowing you can do.” -Ralph Marstone

Salah satu keistimewaan manusia adalah bisa berkata-kata. Kata-kata bukan sekadar bunyi yang keluar dari mulut dengan berbagai dialek dan intonasi yang dimiliki manusia sesuai dengan konteks sosiologis-kulturalnya. Kata-kata adalah ungkapan dan refleksi kedirian seseorang. Kata-kata menyatakan kelembutan atau kekasaran seseorang. Kata-kata merepresentasikan kedirian dan pribadi seseorang.

Kehadiran seorang Pramudya Ananta Toer, Ayip Rosidi, Chairil Anwar, Hamka, Charles Diekens, Ernest Hemingway, Federico Garcia Lorca, atau pengarang lain mana pun, terwujudkan dalam kata-kata, dalam gaya khas mereka masing-masing.

Karena bahasa adalah ungkapan kedirian seseorang, kita yang rajin membaca akan cepat tahu bahwa sebuah tulisan bergaya bahasa Gunawan Mohammad seperti dalam ”Catatan Pinggir”-nya di Majalah Tempo dan bukan bergaya prosa liris Sapardi Djoko Damono. Kita juga bisa cepat menduga bahwa sebuah puisi merupakan karya Ayip Rosidi—penyair beken dari Pasundan—dan bukan karya seorang Djoko Pinurbo.

Ya. sekali lagi, bahasa, atau secara spesifik gaya bahasa, sangat lengket, nempel, atau inheren dengan penulisnya. Penelusuran plagiarisme cukup bisa tertolong lewat aspek ini.

Mari kita simak puisi Ayip Rosidi berjudul ”Kusaksikan Manusia
(1957):

Kusaksikan manusia dendam-mendendam
Kudengar denyut ketakutan mengejar siang dan malam
Kuyakinkan mereka akan kebaikan kemanusiaan
Tapi kusaksikan pula kesetiaan pun dikhianati.

Kukatakan: Ini tanah kita, orang lain tak usah campur!
Tapi kulihat mereka mengangkat senjata,
lalu menggempur:
Berikan segala tanah, semua punya kami!
Yang menang pun mengibarkan panji-panji.

(sumber: Buku kumpulan puisi Ayip Rosidi, Surat Cinta Enday Rasidin, Penerbit: Pustaka Jaya, Jakarta, cetakan ke-6, 2002)

Gagasan tentang manusia adalah gagasan klasik yang banyak diangkat dalam puisi, novel, film, bahkan dalam stand up comedy akhir-akhir ini. Kekuatan Ayip antara lain terletak pada ide/gagasannya tentang manusia. Pembahasan tentang manusia tidak akan pernah berakhir. Namun, kita mesti cerdas mencari sudut pandang yang akan disorot.

Tatkala menyaksikan tentang manusia yang ”dendam-mendendam”, Ayip cerdas memilih kata, karena karakter manusia akan senantiasa berulang dari masa ke masa. Isu ”denyut ketakutan mengejar siang malam”, ”kesetiaanpun dikhianati”, bukan cerita baru dalam hidup sosok manusia. 

Tahun 1957, ketika puisi ini ditulis, masih bisa ditelusuri kondisi masyarakat saat itu: dua tahun sesudah pemilu yang pertama. Ayip kuat dalam gagasan, juga dalam pilihan kata. 

Bahasa, kata-kata, adalah milik manusia. Kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kita sebagai manusia dianugerahi kemampuan untuk berkata-kata dan bisa berbicara, bahkan tidak hanya dalam bahasa ibu dan bahasa nasional.

Agama-agama di dunia mengandung gagasan amat bernas berkaitan dengan kata dan bahasa. Ungkapan ”Bacalah!” dan ungkapan ”pada mulanya adalah kata”, yang masing-masing lahir dari rahim Islam dan Kristen, sungguh mendorong kita semua untuk memberi perhatian ekstra pada dunia bacaan, dunia literasi, dan pada wording! 

Undang-Undang Perbukuan yang ada harus memotivasi kita sebagai bangsa untuk melahirkan buku-buku terbaik, penulis-penulis kreatif dengan tingkat responsibilitas yang tinggi, budaya gemar membaca dan menulis, perpustakaan, dan visi perbukuan masa depan yang dapat menolong warga bangsa dalam keberagamaan mampu tetap survive di tengah percaturan global.

Dalam NKRI yang majemuk, kita perlu buku-buku bermutu sebagai bagian dari proses pembelajaran hidup. Kita perlu melahirkan kata-kata yang memotivasi, menghargai, mengapresiasi, dan memuji; kata-kata yang mengungkapkan kasih-sayang terhadap sesama warga bangsa, dan bukan ujaran kebencian yang menghujat dan mendiskriminasi. 

Pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini mengingatkan agar kita cerdas dalam memilih kata. ”Believing” dan ”knowing”, kata Marstone, berbeda dalam implementasi. Tanpa memahami makna kata dengan baik kita akan banyak mengalami hal-hal yang kontraproduktif dalam kehidupan kita.

Di era pandemi banyak kata, diksi,singkatan diciptakan untuk membantu mempertajam sebuah pokok  isu. Banyak istilah menggunakan bahasa Inggris karena dianggap lebih mampu merumuskn pemikiran secara tepat. Lahirlah istilah kenormalan baru, singkatan PSBB,PPKM Darurat dan sebagainya. 

Manusia adalah makhluk mulia. Kemuliaan manusia antara lain nampak dari diksi-diksi yang ia ucapkan dan tuliskan. Di zaman sulit begini ketika hidup diancam kematian kata-kata sejuk, cool, penuh kasih dan empati yang mestinya menjadi vokabulari kita yang paling utama.

Selamat berjuang. God Bless!

Weinata Sairin 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun