Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Refleksi Minggu | Bagi Tuhan Berikan yang Terbaik

1 Mei 2021   21:03 Diperbarui: 1 Mei 2021   21:07 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apabila kamu membawa seekor binatang buta untuk dipersembahkan, tidakkah itu jahat? Apabila kamu membawa binatang yang timpang dan sakit, tidakkah itu jahat? Cobalah menyampaikannya kepada bupatimu, apakah ia berkenan kepadamu, apalagi menyambut engkau dengan baik? Firman Tuhan semesta alam."- Maleakhi 1:8

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah memiliki relasi yang khusus dan spesifik dengan Allah, Khalik Pencipta Alam Semesta. Relasi itu dilakukan dalam ibadah, pada saat berdoa dan memuji nama Tuhan, pada saat memberikan persembahan, atau bentuk-bentuk lain yang diatur oleh Gereja yang di dalamnya kita mampu mewujudkan relasi dengan Allah. 

Kesemua wujud dan bentuk relasi itu seharusnya terjadi dengan sangat baik dan optimal, dan sebagai cerminan rasa syukur kita kepada Tuhan Allah yang telah menganugerahkan keselamatan kepada umat manusia.

Misalnya, kita harus menyanyi dengan kaidah-kaidah standar: suara tidak sumbang, sesuai dengan partitur lagu, volume suara yang memang sesuai dengan kebutuhan ibadah. 

Jangan kita beranggapan menyanyi untuk Tuhan itu tidak perlu bagus, yang penting iman kita. Anggapan ini tidak berdasar, sebab menyanyikan nyanyian Gereja sebagai bagian dari liturgi/ibadah harus dilakukan dengan sangat baik, optimal; devosional dan juga khidmat.

Pendeknya, semua unsur-unsur liturgi yang ada dalam tata ibadah itu kita baca/lakukan dengan sangat-sangat baik sehingga ibadah itu terasa benar-benar sebagai sebuah 'dialog interaktif' antara kita dan Allah, dan ada kesegaran baru yang kita nikmati dari ibadah yang durasinya lebih kurang satu jam itu. Kita tidak merasa bosan atau hampa dalam ibadah itu. Sebaliknya, kita akan merasakan energi baru dalam diri sebagai bekal memasuki dunia yang penuh turbulensi di minggu depan.

Ibadah kita terasa kering dan hampa, bahkan membosankan, apabila unsur-unsur liturgi itu semua dibaca secara mekanis, tanpa aksentuasi dan penghayatan. 

Banyak terjadi slip of the tongue pada saat pemimpin membaca, salah ketik dan salah kutip nyanyian dalam lembar liturgi atau LCD dan Paduan Suara yang tidak dipersiapkan dengan lebih bagus. 

Kondisi ini acap diperparah dengan khotbah yang berdurasi lebih dari 45 menit, dengan topik yang disajkan tidak populer, dan gaya bahasa agak kuno. Pada bagian akhir, pendeta biasanya kehilangan fokus dan kesulitan mencari kata penutup.

Andaikata elemen-elemen yang amat penting tidak mengalami persiapan dengan baik, cukup besar pengaruhnya dalam konteks kita membangun relasi dengan Tuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun