Mohon tunggu...
Weedy Koshino
Weedy Koshino Mohon Tunggu... Lainnya - Weedy Koshino

Konnichiwa! Ibu 2 anak yang hidup di Jepang. Ingin membagi pengalaman selama hidup di Jepang. Penulis Buku Unbelievable Japan 1,2,3 dan Amazing Japan. Yoroshiku Onegaishimasu.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Jepang, Negara Tak Beragama tapi Bisa Damai

28 November 2016   08:50 Diperbarui: 28 November 2016   15:52 5351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Pintu Gerbang Kuil Asakusa, Tokyo, Jepang.

Dulu waktu saya baru pindah ke Negeri Shincan ini, ada seorang kawan bertanya kepada saya, "Kok mau sih tinggal di negara yang penduduknya kayaknya gak beragama begitu? Gak khawatir? Makanannya gimana, ngobrolnya gimana, karena jadi kaum minoritas nanti kalau lebaran sepi gak sih? Serta beberapa kekhawatiran lainnya yang saat itu buat saya bingung ngejawabnya juga karena belum tahu akan menemui kondisi macam apa saat tinggal di Jepang. 

Dan semua pertanyaan ini akhirnya saya bisa temukan jawabannya walau tidak perlu saya ucapkan lagi tapi biarlah saya saja yang merasakan tanpa perlu saya berkoar-koar bilang ke semua kalau saya nyaman tinggal di Jepang. 

Negara Jepang adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Shinto, lalu Buddha dan Kristen serta agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan baru lainnya. Walau mereka dikatakan penganut suatu agama, lucunya masyarakat Jepang adalah orang-orang yang begitu cuek dengan agama, kepercayaan, atau aliran yang dianutnya. Ritual keagamaan yang dilakukan layaknya orang-orang yang beragama seperti di Indonesia, jarang sekali terlihat di sini. Kalaupun ada acara atau kegiatan yang berhubungan dengan agama, semuanya lebih kepada kebudayaan atau adat kebiasaan yang memang rutin mereka lakukan per tahun dan anehnya lagi, acara itu bukan khusus untuk agama tertentu saja, tapi siapa saja bisa berpartisipasi dan ikut dalam kegiatannya. 

Sampai sekarang pun saya cukup sulit untuk membedakan kalau acara ini sebenernya dirayakan oleh umat Shinto atau Buddha. Jangankan menelaah asal budaya dari agama yang mana, wong membedakan kuil Shinto (jinja) dan kuil Buddha saja sampai detik ini gak pernah bisa hahahah! Ternyata, bukan saya saja loh, lah yang orang Jepangnya pun kadang saya lihat suka asal aja berdoa, misalnya saja menganut agama Buddha tapi berdoanya di Jinja (kuil shinto) hahaha. Melihat pemandangan ini, dulu sempet buat saya pegangan jempol dua biji, tapi kalau sekarang yowes lah terserah mereka, toh berdoa bisa di mana saja dengan media apa saja, yang penting dari hati langsung ditujukan ke Sang Mahakuasa. 

Masyarakat Jepang, bukanlah orang-orang yang fanatik terhadap agama dan kepercayaannya yang dianut. Tidak pernah saya melihat orang bertengkar tentang agama dan saling merendahkan apalagi menjelek-jelekkan agama orang lain. Karena itu, Jepang begitu nyaman bagi kami warga muslim yang tinggal di Jepang, walaupun kami adalah seonggok kumpulan minoritas di tengah masyarakat Jepang yang mayoritas memeluk agama Shinto dan Budha. 

Tabu Berbicara tentang Agama di Jepang!

Waktu pindah ke Jepang, ada satu kesulitan yang harus saya hadapi ketika berbaur dengan masyarakat lokal. Ada beberapa kejadian di mana saya merasa harus bersikap tegas tapi di satu sisi saya juga merasa iba, yaitu ketika saya mendapat KUPING BABI dan GYOZA BABI. 

Cerita ini begitu membekas bukan saja buat saya sendiri tapi ternyata buat dua sahabat saya yang tinggal satu apartemen, namun gara-gara itu kami jadi saling menghormati dan bisa terbuka hingga saat ini pun masih terjalin persahabatan. 

Mendapat Kiriman Kuping Babi dari Ibu Rieko. 

Satu-satunya teman Jepang saya yang selalu bicara blak-blakan. 

Dulu pernah saya memberi tumpangan mobil saat hujan turun deras pergi bersama sama ke acara sekolah. Kemudian sorenya, rumah saya dibell dan kaget sekali  ternyata dia membawa satu kantong penganan, sebagai Okaeshi, (okaeshi: manner orang Jepang memberi balasan hadiah), katanya ia sangat terbantu dan tertolong sekali tadi pagi diajak bareng naik mobil ke acara sekolah! Dengan semangat ia mengeluarkan makanan yang dibungkus plastik kedap udara dengan kemasan yang terlihat elegan dan cantik. Sambil menceritakan tentang asal makanan ini dari Okinawa yang katanya terkenal sekali dan sangat enak! 

Kalau dilihat penampakannya seperti makanan brand yang sangat mahal. Sambil terus mendengarkan tentang sejarah makanan ini (orang Jepang sangat mendetail, apalagi kalau sudah menjelaskan makanan yang mau dikasih ke orang lain)  saya perhatikan juga bentuknya karena saya gak ngerti tulisan kanji apa yang tertulis besar besar di kemasannya yang tertulis dengan warna emas. Di tengah penjelasannya itu, deeggg! tiba-tiba jantung saya mau pecah saat dia bilang kalau penganan cantik yang saya sedang pegang itu adalah KUPING BABI! Pas saya dengar kata itu, saya sudah tidak tertarik dengan kemasan makanaan yang terlihat menarik lagi, berganti dengan saya memandangi wajah cantiknya dengan penuh iba, yang masih semangat 45 menjelaskan tentang kelezatan makanan yang dia ingin berikan ke sahabatnya ini. Gomen ne Rieko san, gomeen! Maaf ya Rieko san! 

Saat itulah saya mulai panik, aduh help... gimana ini menjelaskan dengan bahasa yang halus. Karena saya iba juga melihat dia yang berapi-api menyuruh saya mencicipi makanan ini padahal saya tidak bisa memakannya! Dengan perasaan yang penuh iba dan sangat kasihan, saya tarik tangannya untuk masuk dulu ke dalam rumah, dan kita ngobrol di ruang tamu sambil saya berikan teh hangat. 

Setelah saya pelan-pelan jelaskan, gantian dialah yang terkaget-kaget sampai mengucapkan minta maaf beberapa kali! Aduhh makin iba saya. 

Banyak sekali pertanyaan yang ia ajukan, apakah saya bisa makan ayam, ikan, kambing, sayuran, miso sup, tahu, dan lucunya saat dia tanya apakah tidak apa-apa kalau kita masih temenan dan bicara? Hahahahaha aduhh lugunya ibu iniii... YA TENTU SAJA! Walau tidak seagama kenapa kita tidak boleh saling menyapa dan berteman. Dan sudah hampir 9 tahun kami berteman dan bertetangga, dan sejak saat itu saking takutnya kalau memberi makanan sama saya adalah makanan yang tidak bisa saya makan lagi, akhirnya sekarang Ibu Rieko suka memberi TELOR dan HAND CREAM sebagai oleh-oleh atau sebagai ucapan terima kasih atas sesuatu hahaha! 

Cerita yang kedua adalah ketika saya mendapat kiriman gyoza dari sahabat China saya. 

Saya kaget ketika sore-sore pintu rumah dibel dan sahabat saya berkulit putih bersih berambut panjang lebat sambil tersenyum manis kasih lihat nampan besar berisi potongan gyoza yang masih berbalur tepung terigu agar tidak lengket satu sama lain. Ia bercerita kalau setiap tahun baru China, biasanya orang-orang China akan merayakan dengan makan gyoza bersama-sama. Dan teman saya sengaja buat banyak hari itu untuk sebagian diserahkan ke saya dan disantap bersama keluarga saat makan malam nanti. 

Sambil riang ia serahkan nampan besar yang dipegang dengan dua tangannya kepada saya. "Ini semua saya bikin sendiri, sampai ke kulit gyozanya loh. Daging babinya pun saya pilih yang bagus jadi rasanya enak sekali, saya sudah coba tadi satu biji, Weedy san harus coba ya! Ini saya bikin buat anak-anak kamu juga! Makan ya!" katanya sambil berapi-api menjelaskan. 

Oh Tuhan, ada lagi deh kejadian seperti si kuping babi lagi, help! 

Habis saya terima nampan yang penuh dengan potongan gyoza buru-buru saya taruh di dapur. Saya panggil teman saya masuk dan menyuruhnya duduk sebentar. Saya jelaskan dengan bahasa yang saya buat sehalus mungkin dan tidak terkesan kasar untuk menolak makanannya. Dan bisa ditebak sih, ibu itu langsung memohon maaf berkali-kali karena ketidaktahuannya itu. Karena saya iba dan sangat menghargai kerja kerasnya, saya akan simpan gyoza bikinannya itu untuk ditaruh freezer dibekukan, lalu nanti saya akan berikan ke ibu mertua saya esok hari. Namun, temen saya mengatakan kalau gyoza lebih baik makan sekarang rasanya beda kalau sudah dibekukan, jadi akhirnya saya kembalikan nampan itu kepadanya dengan perasaan yang campur aduk, maaf ya Risa san. 

Syukurnya tidak ada yang marah dan memutuskan tali pertemanan walau tahu saya seorang muslim, justru kami jadi semakin dekat karena sudah tahu sampai hal yang paling sensitif pun. 

Dua pengalaman itu yang membuat saya nyaman hidup di Jepang. Agama dan kepercayaan bersifat begitu personal sekali. Walaupun pada kenyataannya orang Jepang seperti orang-orang yang tak beragama, tapi mereka saling menghormati satu sama lain. Kalaupun ada yang memeluk suatu agama, bukanlah hal di mana semua orang harus tahu agama dan kepercayaan yang dianutnya itu. Hubungan dengan Sang Maha Pencipta bukanlah hal yang digembor-gemborkan dan dijadikan ajang adu pamer ketaatan antar sesama umatnya. Pemandangan itulah yang membuat saya begitu tenang tanpa merasa saya adalah bagian minoritas di sini. Sepertinya, bagi orang Jepang kalau urusan hati dan ketaatan hanya Tuhan yang berhak menilai. 

Jepang negara tak beragama bukan berarti negara ini tidak berakhlak. Budi pekerti, kelakuan dan adab masyarakat di sini masih banyak yang bisa kita ambil sebagai contoh yang baik. Heran gak sih dengan kebersihan yang sudah bukan lagi sesuatu yang spesial di Jepang? Heran gak melihat Japang yang jarang tempat sampah tapi jalan-jalan begitu bersih tanpa sampah bergelatakan? Apakah ada slogan yang bermakna Kebersihan adalah sebagian dari iman seperti di Indonesia? Jadi, jangan suka ngomong doang tentang iman segala macem, kalau kita masih suka nyelipin bungkus permen di jok kursi bis atau buang puntung rokok di jalan walao kita merasa sudah ngerasa aman mematikan apinya yang telah kita injek dengan sepatu. 

Negara bersih, nyaman dan teratur, tidak saling selak saat antre, sabar saat naik dan turun kereta, tidak menghujat, tidak merendahkan orang dengan kata kotor dan celaan, tidak mengagungkan secara berlebihan hal yang dipercayainya, tidak menjatuhkan orang dengan cacian dan menghasut, tidak pamer harta dan kekayaan, tidak merasa paling tahu dan serbabisa, dan segala tetek-bengek begitu, terus kok masyarakat Jepang bisa begitu "nggilani" adabnya melebihi negara saya tercinta yang sering terdengar kumandangnya sebagai negara berakhlak dan beradab, serta masyarakatnya paling taat beribadah. 

Saya jadi inget dulu saya pernah tanya tentang dosa dan pahala sama beberapa temen saya, kalau kita berbuat buruk dan baik di dunia. Dan jawaban mereka yang cukup bikin kaget adalah semuanya itu mereka lakukan karena mereka tidak ingin mendapat kecaman dari masyarakat. Hal yang buruk atau tidak baik apalagi sudah keluar dari norma masyarakat akan mendapat sanksi sosial yang keras. Sanksi sosial? Waduh tambah menarik ya, sanksi sosial yang model apa? Dimarahi, dihujat, dicaci-maki? Dan cetar sekali jawabannya saat saya dengar, kalau sanksi sosial di Jepang itu "hanya" tidak ingin mendapat IMAGE BURUK. Misalnya saja, membuang sampah sembarangan di jalan adalah suatu IMAGE BURUK yang teramat sangat! Yang akan menyulitkan masuknya seseorang itu atau bahkan keluarga dalam suatu lingkungan masyarakat. Kelakuan buruk yang dilakukan  membuat imaje dan brand dirinya pun menjadi jelek. Hanya itu saja padahal sih tapi bisa ya buat Jepang negara bersih dan teratur, ckckck! 

Semoga Indonesia suatu saaat akan menuju titik seperti ini, bukan lagi mengandalkan ayat-ayat dari kitab-kitab suci dan kotbah para ulama dan pemuka agama untuk menyerukan kebaikan. Tapi justru dari komponen masyarakat yang terdekat, dari penilaian tetangga dan warga itu harusnya sudah bisa membuat kita selalu menjaga tindakan dan gerak gerik agar selalu sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat. Kalau semua itu sudah terwujud saya yakin seyakin-yakinnya, kedamaian dan ketentraman akan bisa tercipta dengan mudah. Mudah memang untuk diucapkan tapi kenyataannya sukar sekali untuk diterapkan. 

Damai selalu Indonesia, kami warga Indonesia yang melihat dari jauh kekacauan demi kekacauan, keributan demi keributan, hingga bisa memorak-porandakan kesatuan bangsa, kok ya merasa sayang sekali dan merasa sedih. Negara besar yang jauh lebih kaya dari Jepang. Negara kuat yang jauh lebih banyak potensi SDM dan SDA yang lebih melimpah dari Jepang, tapi kok mudah sekali terpecah-belah dan gampamng diadu domba. Padahal Semoboyan Bhinneka Tunggal Ika terus terusan terngiang dan sudah terpatri dalam sanubari kita semua. Ya, walau kita berbeda agama ras dan suku harusnya tetap satu jua. Amin

Salam hangat dari Negeri Shincan.

wk!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun