Pernahkah kita berjalan di sudut-sudut kota Solo atau Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa yang seharusnya menjadi benteng nilai-nilai luhur? Namun, yang kita dapati justru sebuah ironi. Kita mendengar obrolan anak-anak usia sekolah yang lancar berbahasa Indonesia, bahkan sesekali diselipi istilah asing, namun kaku ketika harus merangkai kalimat dalam bahasa Jawa halus. Atau melihat mereka berpapasan dengan orang yang lebih tua, namun sapaan "monggo", "nuwun sewu", atau sekadar anggukan kepala yang santun, tak lagi menjadi refleks? Ini bukan kebetulan semata, ini adalah cermin dari terkikisnya unggah-ungguh, sebuah pilar utama dalam tata krama Jawa yang dulunya tertanam kuat sejak dini. Unggah-ungguh bukan hanya tentang cara berbicara atau bersikap sopan, tapi juga tentang penghargaan mendalam terhadap hierarki sosial, usia, dan peran. Ia adalah manifestasi dari rasa hormat, rasa empati, dan kemampuan menempatkan diri. Dalam setiap sapaan "nuwun sewu" (permisi), ada pengakuan bahwa kita memasuki ruang pribadi orang lain. Dalam setiap uluran tangan untuk sungkem, ada pengakuan akan kebijaksanaan dan pengalaman yang lebih tua.
Dulu, bahasa Jawa bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah media transmisi nilai. Melalui undha-usuk (tingkatan bahasa), anak-anak belajar menghormati yang lebih tua, menghargai yang setara, dan menyayangi yang lebih muda. Kini, di tengah arus modernisasi dan tuntutan globalisasi, bahasa Indonesia dipandang lebih "praktis" dan "universal". Orang tua, sadar atau tidak, ikut berperan dalam fenomena ini. Mereka mungkin berpikir dengan mengajarkan bahasa Indonesia sejak kecil, anak-anak akan lebih mudah bersaing di masa depan. Namun, mereka lupa, bahwa di balik kemampuan berbahasa Jawa, ada kekuatan batin yang tertanam: rasa hormat, tenggang rasa, dan kepekaan sosial.
Akar masalahnya jauh lebih kompleks dari sekadar pilihan bahasa. Ini adalah pergeseran paradigma. Masyarakat, baik orang tua maupun generasi muda, secara tidak sadar mulai melihat nilai-nilai Jawa sebagai sesuatu yang "kuno", "tidak relevan", atau bahkan "menghambat kemajuan". Mereka sibuk mengejar kesuksesan individual, terinspirasi oleh narasi-narasi global yang mengagungkan kebebasan personal dan kompetisi, hingga melupakan bahwa kekuatan sejati sebuah masyarakat justru terletak pada solidaritas dan kebersamaan, yang selama ini dianyam oleh nilai-nilai Jawa. Keraton mungkin masih berdiri kokoh sebagai simbol, namun apakah jiwa-jiwa di dalamnya masih bernapas dengan nilai-nilai yang sama? Ini adalah pertanyaan yang mengganjal dan perlu kita jawab bersama.
Ketika Hati Tak Lagi Menuntun: Hilangnya Unggah-Ungguh dan Tenggang Rasa
Tenggang rasa, atau dalam bahasa Jawa sering disebut tepa selira, adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, menempatkan diri pada posisi orang lain, dan bertindak dengan penuh pertimbangan agar tidak menyakiti atau merugikan. Ini adalah inti dari empati sosial, sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Jawa. Tenggang rasa menuntut kita untuk berpikir sebelum bertindak atau berbicara, mempertimbangkan dampak kata-kata atau perbuatan kita terhadap perasaan orang lain. Nilai ini sangat erat kaitannya dengan pandangan Jawa yang menanamkan "hati" dalam setiap tindakan, sehingga menyadarkan dan mendorong kita untuk berpikir matang sebelum melangkah, bukan sekadar bertindak impulsif.
Saya teringat Mbah Wongso, tetangga saya di salah satu kampung di Yogyakarta. Beliau, meski sudah sepuh, selalu menyempatkan diri menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya di jalan. Tidak peduli itu anak kecil, remaja, atau orang dewasa. Sapaannya selalu diiringi senyum dan tatapan mata yang hangat. "Nduk, arep tindak pundi?" (Nak, mau pergi ke mana?) atau "Le, wis madhang durung?" (Nak, sudah makan belum?). Sapaan sederhana ini menciptakan ikatan, rasa kebersamaan. Namun, kini, pemandangan seperti ini semakin langka. Anak-anak sibuk dengan gawai mereka, orang dewasa terburu-buru dengan urusan masing-masing. Sapaan di jalan tak lagi menjadi keharusan, bahkan terkadang dianggap aneh. Ini adalah indikasi bahwa kepekaan sosial kita mulai tumpul, bahwa dinding-dinding individualisme mulai meninggi.
Dampak dari terkikisnya unggah-ungguh dan tenggang rasa ini sangat nyata. Di sekolah, guru mengeluhkan minimnya rasa hormat siswa. Di lingkungan kerja, atasan merasa bawahan kurang menghargai otoritas, dan keputusan sering diambil tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap individu atau departemen lain. Prioritas pribadi atau kelompok menjadi yang utama, tanpa ada kepekaan terhadap kebutuhan atau kesulitan orang lain yang berbeda tugas dan fungsinya. Saya pernah menyaksikan di sebuah rapat RT di kampung saya. Ada usulan pembangunan gapura yang sedikit menyinggung perasaan beberapa warga karena letaknya akan menghalangi pandangan mereka. Dulu, dengan tenggang rasa, musyawarah akan berjalan alot namun penuh solusi, mencari titik tengah yang menguntungkan semua. Kini, argumen-argumen keras langsung dilontarkan, saling serang, tanpa ada upaya untuk memahami sudut pandang lawan bicara. Ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara menyampaikan pendapat dengan menyakiti perasaan, karena minimnya tenggang rasa. Ketika nilai-nilai ini luntur, maka fondasi masyarakat yang guyub dan rukun pun akan retak. Tenggang rasa juga terkait erat dengan rasa menghormati dan memiliki peran setiap personal lain. Ketika tenggang rasa luntur, yang tersisa adalah masyarakat yang individualistik, di mana setiap orang sibuk dengan kepentingannya sendiri, kurang mampu memahami dan menghargai kontribusi orang lain. Akibatnya, sulit untuk membangun dan maju bersama, karena setiap langkah selalu diwarnai kecurigaan dan kepentingan pribadi.
Antara Gotong Royong dan Nrimo Ing Pandum: Mengejar Kebebasan atau Kedamaian?
Gotong royong, sebuah konsep kebersamaan yang sangat kuat dalam budaya Jawa, kini menghadapi ujian berat. Dulu, ia adalah napas kehidupan. Membangun rumah, membersihkan selokan, hingga mempersiapkan hajatan besar, semua dilakukan bersama-sama, tanpa pamrih. Ada kesadaran bahwa "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing." Kekuatan kolektif ini menghasilkan efisiensi dan mempererat tali silaturahmi. Namun, kini, di lingkungan kerja maupun masyarakat umum, semangat ini mulai memudar.
Kita sering melihatnya di kantor. Sebuah proyek besar seharusnya diselesaikan secara kolaboratif, namun setiap divisi atau bahkan setiap individu sibuk dengan "area" dan "tugas" mereka sendiri. Ada keengganan untuk melampaui batasan deskripsi pekerjaan, apalagi untuk membantu rekan kerja yang sedang kesulitan di luar tanggung jawabnya. Alasan yang sering muncul adalah "itu bukan tugas saya," atau "saya tidak punya waktu." Mentalitas "saya" lebih dominan daripada mentalitas "kita". Ini adalah perwujudan dari ego sektoral yang mengikis semangat gotong royong. Di lingkungan masyarakat, misalnya saat ada pembangunan fasilitas umum, partisipasi warga tak lagi seaktif dulu. Orang cenderung memilih membayar tenaga kerja, daripada ikut turun tangan. Ini bukan berarti tidak peduli, namun rasa memiliki terhadap kepentingan bersama mulai menipis. Padahal, gotong royong bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan, tapi juga tentang membangun ikatan sosial, menumbuhkan rasa saling percaya, dan merasakan kebanggaan bersama atas hasil karya. Ketika gotong royong terkikis, yang tersisa adalah masyarakat yang terfragmentasi, di mana setiap orang berjuang sendiri, tanpa ada kekuatan kolektif yang bisa diandalkan dalam menghadapi tantangan bersama. Kita kehilangan esensi dari kebersamaan yang saling menguatkan.
Bersamaan dengan itu, konsep nrimo ing pandum  (menerima apa yang menjadi bagian kita dengan ikhlas, setelah berikhtiar maksimal) juga kian terpinggirkan. Generasi sekarang tumbuh dengan mentalitas serba cepat dan instan. Mereka ingin hasil segera, tanpa proses yang panjang. Ketika hambatan muncul, mereka mudah menyerah, frustrasi, bahkan depresi. Nilai "ngoyo" atau memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan batas kemampuan, seringkali menjadi jebakan. Mereka lupa bahwa hidup tidak perlu selalu "ngoyo" demi mencapai segala keinginan.
Ambil contoh Pak Budi, seorang kepala keluarga yang bekerja keras sebagai pedagang kelontong di pasar tradisional. Perekonomian sedang lesu, omzet tokonya menurun drastis, bahkan seringkali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Istrinya mengusulkan untuk mengambil pinjaman daring dengan bunga tinggi agar bisa membeli barang dagangan lebih banyak dan berharap omzet segera naik pesat. Pak Budi tahu ini adalah jalan pintas yang berisiko. Ia memilih untuk tetap berikhtiar sekuat tenaga dengan mencari pemasok yang lebih murah dan mengatur ulang stok barang, namun tetap dengan nrimo ing pandum bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Ia tidak "ngoyo" memaksakan diri mengambil risiko besar yang justru bisa menjerumuskan keluarganya. Ia percaya, dengan kesabaran, kerja keras yang tulus, dan rasa syukur atas apa yang ada, ketenangan batin akan selalu bersamanya. Ia memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya diukur dari berapa banyak uang yang ia miliki, melainkan dari kedamaian hati dalam menjalani hidup. Banyak dari kita, di tengah himpitan ekonomi atau tuntutan karir, sering tergoda untuk "ngoyo", memaksakan diri hingga melampaui batas, dan berakhir dengan stres atau bahkan kehancuran. Nenek moyang kita, dengan segala keterbatasan, mampu bertahan dari berbagai kesulitan hidup karena mereka memegang teguh nrimo ing pandum. Mereka percaya bahwa setiap kejadian punya makna, dan tugas kita adalah menerima dengan sabar sambil terus berusaha. Keikhlasan ini, disertai rasa syukur, akan membimbing kita pada ketenangan dan ketenteraman batin, jauh dari beban "ngoyo" yang tak berujung.