Pernah membayangkan bagaimana rangkaian kereta listrik mampu meniti perjalanan satu abad di tengah arus perubahan kota yang tiada henti? KAI Commuter Line tidak sekadar menjadi saksi bisu evolusi urban, melainkan juga terus berinovasi untuk menjawab kebutuhan jutaan penumpang. Dari gerbong kayu nan sederhana hingga unit berteknologi AI, inilah perjalanan epik 100 tahun KRL di Indonesia.
Jejak Awal: Dari Bon-bon ASS 8500 hingga Era KCI Modern
6 April 1925 menandai debut Bon-bon ASS 8500---rangkaian gerbong kayu yang melaju di rute Jatinegara--Tanjung Priok dengan kecepatan puncak 40 km/jam. Awalnya, kereta ini hanya difungsikan untuk mengangkut barang dan pejabat kolonial. Namun selarik demi selarik rel itulah yang kelak menjadi tulang punggung jaringan KRL Jabodetabek, kini membentang sepanjang 413 km dengan lebih dari 80 stasiun.
-
Bon-bon ASS 8500: empat gerbong kayu, saksi bisu era kolonial.
Dekade 1950-an: Permulaan era layanan penumpang dengan tiket kertas.
22 Juli 2011 menjadi momen penting ketika KCI (PT. Kereta Commuter Indonesia) memperkenalkan KRL ber-AC, menggantikan kereta ekonomi. Keputusan ini meredam keluhan soal kepadatan dan suhu pengap di dalam gerbong. Data KCI 2024 mencatat lonjakan penumpang harian dari 400.000 pada 2010 menjadi 1,2 juta di awal 2025.
C-Access: aplikasi resmi untuk pengecekan jadwal, pembelian tiket, dan pemantauan kepadatan gerbong.
Armada terkini: seri JR205 (Jepang) dan prototipe INKA 2025 dengan sistem pendingin berdaya rendah.
Dampak Positif: Lingkungan dan Ekonomi Berkelanjutan
Ramah Lingkungan dengan Efisiensi Tinggi
Kereta listrik ini mampu memangkas emisi karbon hingga 30 % dibanding moda transportasi berbahan bakar fosil. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2024), satu gerbong KRL setara dengan 200 mobil pribadi dalam hal konsumsi energi.
Integrasi KRL--MRT di Stasiun Manggarai memangkas durasi perjalanan Jakarta--Bogor dari dua jam menjadi sekitar 45 menit.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!