Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Jalan Ie Tiong Bie, dokter Iwan Satibi

5 Januari 2016   19:19 Diperbarui: 5 Januari 2016   19:35 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bersama Budayawan Tionghoa Iwan Satibi"][/caption]

 

Sepuluh bulan lalu, saya bersama kawan-kawan program acara Radar Files di Radar Cirebon TV,  mengunjungi kediaman budayawan Tionghoa, Iwan Satibi dengan nama Tionghoa, Ie Tiong Bie, tepatnya 11 April 2015. Tepatnya di jalan Cideres Raya 14, Dawuan, Kadipaten, Kabupaten Majalengka. dokter Iwan Satibi, usianya 84 tahun, beliau membuka warung kecil-kecilan untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya, masih bersemangat menjamu saya dan kawan-kawan yang 'haus sejarah' ini. Tampak kesederhanaan dan lembut terbesut dalam wajahnya yang sepuh. Beliau sempat membawa saya dan kawan-kawan melihat sudut ruang kerja tersimpan foto bung Karno dan rak buku yang kosong. "Saya sumbangkan semua dan tersimpan di Kelenteng Majalengka," ujarnya. Beliau memperlihatkan foto-foto leluhurnya dengan terbata-bata ia menceritakan kembali informasi sejarah masyarakat Tionghoa di Cirebon, dan memperlihatkan silsilahnya. Beruntung, saya menyimpan salinan copy silsilah Ie Tiong Bie.

Dan, sebagian informasi telah saya kembalikan kepada masyarakat, melalui beberapa tayang di Radar Cirebon TV, dalam program Radar Files, dan, saya tulis kembali di Kompasiana. "Penghormatan kepada leluhur pun sudah mulai kurang diperhatikan. Apalagi soal pemeliharaan dan pelestarian bangunan-bangunan kuno sangat memprihatinkan. Kelenteng Talang, misalnya," ujarnya saat itu.

Dengan tangan gemetar, ia berusaha menulis kembali daya ingatnya kepada kami. Luar biasa! Saya sangat bersyukur dapat bertemu dengan beliau, hidup dengan kesederhanaan, dan semangatnya terhadap budaya Tionghoa. Sejak sepuluh bulan lalu, dengan kesibukan yang ada, jujur saya kangen dengan dokter Iwan Satibi. Lalu, sebagai obat penawarnya, saya menulis Tanda Peringatan 'Jangkar Kapal' Cheng Ho? dan beberapa tulisan terkait sejarah masyarakat Tionghoa di Cirebon. "Tulisan-tulisan ini, saya persembahkan untuk dokter Iwan, nanti di perayaan Imlek, saya akan mengunjungi beliau kembali di Cideres" niatan saya saat tahun baru (1/1) lalu.

Namun, SMS (short message service) di selular saya, pukul 4.29 WIB, 5 Januari 2015, "Budayawan Tionghoa dr. Iwan Satibi telah meninggal dunia pada hari Selasa Jam 14.10. Disemayamkan di Rumah Duka ruang B, Jl. Talang Cirebon,"  saya terdiam sejenak. Nyaris tak percaya. Jika beliau telah wafat. Saya melihat kembali beberapa tulisan yang sudah, dan belum saya unggah di Kompasiana untuk persiapan Imlek, dan kado untuknya, seakan memberikan firasat. 

Ie Tiong Bie, lahir di Probolinggo, 16 September 1931. Setelah lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dan ia memilih Cideres, Kabupaten Majalengka. Ia adalah Kepala Rumah Sakit Cideres pertama, dan dikenal sangat senang menolong pasien yang tidak mampu. "Sampai menjelang tua, beliau masih senang membantu, apapun yang ia bisa berikan, ia kasih ke orang," curhat istrinya saat itu. Bahkan, sebelum saya dan kawan-kawan pamit, istri dokter Iwan Satibi sempat memperlihatkan arca. "Jika ada yang minat silakan saja," ungkapnya.

Maka segala ingatan, kesadaran dan keabsolutan subyektifitas penilaian akan menyapa nama orang dan berkarisma besar dalam memanusiakan diri kita, melahirkan empati paling kuat, dan paling ingin kita cerahkan, itulah penyandang gelar orang tersayang. Sebab ia yang sanggup menjadi mata air kasih sayang dan menjadi orang yang paling kita kasihi.

Terima kasih kawan sekaligus guru. Terima kasih untuk buku-buku yang engkau berikan. Selamat Jalan, Ie Tiong Bie, dokter Iwan Satibi.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun