Mohon tunggu...
Max Webe
Max Webe Mohon Tunggu... Penulis - yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

"There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances." — Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasehat Prabowo Subianto Pengaruhi Keputusan Politik Ridwan Kamil?

1 Maret 2016   00:00 Diperbarui: 1 Maret 2016   00:07 3780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Fanpage FB Ridwan Kamil"][/caption]Hari ini, publik dan khususnya para netizen mendengarkan suara hati nurani Ridwan Kamil untuk mantap diri tidak terlibat dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Wali Kota Bandung itu, melalui akun twitter pribadinya, @ridwankamil., "Untuk kebaikan yg lebih besar, hari ini saya memutuskan untuk TIDAK ikut pemilihan Gubernur Jakarta 2017. Hatur nuhun." Malam ini, cuitan Kang Emil pun langsung di-retweet oleh lebih dari 3237 pengguna twitter, dan disukai sekitar 1427orang, tanggal 28 Februari 2016, pukul 20.28. 

"Keptsan yg tepat. Jgn biarkan diri jd polemik berkepanjangan, saatnya akn tiba bg anda u berkontribusi lbh luas bg nusa & bangsa," tulis pemilik akun @ely_susianti. 

Tidak hanya twitter, dalam status Fanpage FB Ridwan Kamil, sebelumnya diikuti tanda jempol 1.693.047 orang, dan kini berjumlah 1.734.424 orang. Kang Emil menulis, "Mohon maaf, walau kesempatan itu ada, saya memutuskan untuk tidak maju ke pemilihan Gubernur DKI 2017. Ini alasannya. mohon dibaca dengan seksama. Semoga Jakarta bisa memilih pemimpin terbaik tahun depan. hatur nuhun." Hingga malam ini, 29 Februari 2016, pukul 21.35, status tersebut telah dibagikan 73.669 kali, dan 38.747 komentar. 

Dalam status Fanpage FB Ridwan Kamil, ia menuliskan alasan untuk tidak ikut pemilihan Gubernur Jakarta 2017, berjudul Ke Jakarta Tidak ke Jakarta. Dalam tulisan tersebut, Kang Emil menyampaikan ide gagasan tentang beragam perkara, mulai dari sejarah Indonesia, tentang Ibukota DKI Jakarta, tentang semangat perebutan kursi panas DKI 1, tentang perjalanannya menuju kursi Wali Kota, hingga alasannya tidak ikut pemilihan Gubernur Jakarta 2017.

Berikut petikannya,

"Indonesia lahir dari imajinasi. Rumah besar dengan penghuni yang beragam bukan seragam. Sejarah mencatat pusat Nusantara saat Sriwijaya adalah disekitar Sungai Musi. Nusantara saat Majapahit sebagai penguasa berpusat di Mojokerto. Dan Nusantara atau Indonesia hari ini berpusat Jakarta. Jakarta adalah pusat pemerintahan/politik dan juga pusat ekonomi Indonesia. Berbeda dengan Amerika dimana pusat pemerintahan di Washington DC dan pusat ekonominya di New York atau Los Angeles. Atau Tiongkok dengan Beijing sebagai pusat politik dan Shanghai sebagai pusat ekonomi. Bercampurnya segala pusat ini itu di Jakarta membuat manusia-manusia Indonesia berlomba mengadu nasib ekonomi atau nasib politiknya ke Jakarta. Jakarta adalah mitos. Jakarta sekaligus juga adalah bom waktu. Sedemikian besarnya magnet Jakarta sebagai kepusatan atas banyak hal, tidaklah heran jika menjadi Gubernur Jakarta menjadi incaran utama panggung politik. Pak Jokowi mundur dari Solo untuk menjadi Gubernur Jakarta tahun 2012 yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia di tahun 2014. Pak Ahok mundur dari anggota DPR untuk berpasangan dengan Pak Jokowi. Pak Alex Nurdin mundur sebagai Gubernur Sumsel, dan balik lagi ketika kalah. Tahun depan pak Ahok pun bersiap untuk pemilihan berikutnya. Dan karena satu dan lain hal, tawaran dan kesempatan itu pun datang kepada saya. Saya tidak melakukan upaya apapun yang bersifat mempromosikan diri ke warga Jakarta.

Sehingga ketika hasil survey menyatakan popularitas dan elektabilitas tiba-tiba-tiba naik, saya duga karena apa yang saya lakukan di Bandung dengan mudah dikonsumsi warga Jakarta via media sosial. Jangan lupa Jakarta adalah kota Twitter paling cerewet se dunia. Kenapa tidak segera menyatakan maju atau tidak? Sebagai manusia timur, saya dilatih ibu saya untuk menghormati silaturahmi. “Jangan menolak undangan silaturahmi dan perbanyak takziah pada yang baru meninggal,” itu pesan rutin Ibu saya. Saya paham maksudnya, dengan silaturahmi persaudaraan berlipat. Dengan takziah, rasa syukur dan semangat hidup bertambah.

Itulah kenapa selama 3 bulan terakhir saya tidak langsung menyatakan iya atau tidak terhadap tawaran menjadi calon Gubernur DKI. Saya menghormati masukan dan aspirasi dengan menghadiri undangan silaturahmi dari beragam kelompok warga dan tokoh Jakarta. Saya mendatangi informal undangan dari 4 parpol. Dalam kurun waktu tersebut, saya mendengarkan dengan seksama masukan langsung dari Bapak Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, termasuk berdiskusi hangat dengan Pak Prabowo Subianto. Memenangkan pemilihan Gubernur Jakarta 2017 bukan hal yang mustahil. Saya dulu memulai pemilihan di Bandung dengan 6% sebagai ’nobody’, sementara incumbent sudah 30%. Dan akhirnya menang 45% dengan determinasi dan strategi kreatif ini itu. Dari survey terakhir di Jakarta yang masuk ke saya, popularitas sudah 60% dan elektabilitas 20%. Dan ini pun, dengan saya tidak melakukan apa-apa. Belum bergerak. 

Gak takut kalah? Menang kalah dalam hidup adalah biasa. Cinta saya pernah ditolak 2 kali. Kalah dalam sepakbola sering. Masuk arsitektur gara-gara tidak berhasil masuk Teknik Kimia ITB dan saya pernah dilecehkan berkali-kali saat di Amerika karena minoritas dan faktor ras. Saya sudah melewati semua itu. Makanya mau dimaki atau dibuli di twitter atau medsos oleh banyak pihak termasuk para buzzer lawan politik itu mah biasa saja. Politik itu bising. Insya Allah saya sudah kebal. Masalah batin saya hanya satu. Saya belum selesai menunaikan tugas sebagai Walikota Bandung. Andai pilkada di Indonesia ini bisa serempak awal dan akhirnya, tentu tidak akan ada dilema seperti ini. Jika pilkada bisa serempak semua, tidak akan ada stigma pemimpin kutu loncat bagi mereka yang ingin mengabdi ke jenjang lebih tinggi. Dan jika mengikuti hawa nafsu dan hitungan matematika pilkada, pastilah saya tidak banyak berpikir panjang. Namun hidup tidaklah harus selalu begitu. Saya ingin bahagia tanpa mencederai. Saya ingin menang tanpa melukai.

Status Fanpage FB Ridwan Kamil ini cukup panjang, berbagai kisah dan pesan moral, dan menginspirasi bagi pembacanya. Ada yang menarik dan menggelitik dalam tulisan Kang Emil, "Jika pilkada bisa serempak semua, tidak akan ada stigma pemimpin kutu loncat bagi mereka yang ingin mengabdi ke jenjang lebih tinggi."

Lebih lanjut, ia menggagas bahwa Indonesia tidak hanya Jakarta. Mitos pusat segalanya itu harus dibongkar. "Saya yakin Indonesia bisa maju jika di daerah juga dipimpin orang-orang terpercaya dan progresif secara merata. Indonesia bisa hebat dengan kepemimpinan orang-orang hebat seperti Ibu Risma di Surabaya atau Prof. Nurdin Abdullah di Bantaeng," tulisnya di Fanpage FB Ridwan Kamil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun