Tiga negara yaitu Arab Saudi, Turki, dan Iran yang akan menentukan masa depan Islam. Karena ketiga negara itulah kiblat negara Islam di dunia. Demikian kalimat mula dalam tulisan Kompasianer Mochamad Syafei yang berjudul Jika Arab Saudi, Turki, dan Iran Bersatu, Jumat (31/12) memantik saya, bahwa secara keseluruhan, Timur Tengah memiliki beberapa isu strategis yang berpotensi menimbulkan tantangan signifikan bahkan bagi ketahanan dan pertahanan global paling modern di dunia.
Baca: Gerah Saudi Iran, Putus Riyadh Tehran
Bukan sebuah kebetulan, Kompasianer Mochamad Syafei menampilkan foto Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman, dan mengingatkan saya sosok Jamal Ahmad Khashoggi yang berbasis di Amerika Serikat, sebagai jurnalis Washington Post berusia 59 tahun itu terbunuh di dalam kantor konsulat Arab Saudi, kota Istanbul, Turki pada 2 Oktober 2018. Satu hal yang pasti.  Apa yang kita ketahui tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Konsulat Saudi berasal dari Turki. Mengapa  Turki begitu bersemangat memberikan informasi secara update? Padahal rezim di Ankara bukanlah pembela hak asasi manusia bagi jurnalis. Hampir tidak ada contoh yang terbuka dan transparan dalam perilakunya sendiri terhadap oposisi.
Sungguh menakjubkan bagaimana pemberitaan dapat menghasilkan kebisingan atas topik tertentu tanpa sekali pun mengajukan pertanyaan yang jelas. Apa yang sedang dilakukan Turki? Adakah permainan Turki? Mereka telah berhasil menanggung bertahun-tahun warga negara asing dieksekusi di Turki--dari pejuang perlawanan Chechnya hingga aktivis oposisi Suriah -- tanpa bersikap lunak dan menimbulkan keributan. Tiba-tiba mereka peduli tentang seorang aktivis atau jurnalis Arab Saudi yang menghilang di dalam wilayah yang secara efektif merupakan wilayah otoritas Arab Saudi di bawah hukum internasional. Tentu saja mereka marah. Tetapi bagi mereka yang sensitif atas kemarahan tersebut akan menunjukkan perhitungan lain apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Pada dasarnya, Turki dan Arab Saudi berebut kepemimpinan dunia Muslim Sunni. Di bawah rezim Erdogan serta Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Turki modern cenderung menjadi neo-Ottoman berkat gairah imaji masa lalu kesultanan yang dipompa ke permukaan. Keturunan penguasa Ottoman sendiri bahkan tak memperlihatkan gairah sebesar Erdogan—yang tak punya keturunan "darah biru" kesultanan. Sejak anggota keluarga penguasa Ottoman diizinkan pulang ke Turki pada 1974, mayoritas dari mereka tidak lagi menjadi sosok menonjol dan hidup biasa-biasa saja. Mereka juga selalu menghormati dan memperhatikan undang-undang Republik Turki yang baru.
Sementara, Kerajaan Arab Saudi menyimpan kepura-puraannya sendiri, Arab Saudi telah berada di bawah perlindungan Inggris dan Amerika Serikat sejak Perang Dunia I. Di bawah kepemimpinan Saud, Arab Saudi menjadi pemain penting dalam sistem global karena satu alasan: Ia adalah produsen minyak yang sangat besar. Ia pelindung Mekah dan Madinah, dua kota suci Muslim, memberikan pengaruh tambahan bagi Saudi di dunia Islam di atas kekayaan yang luar biasa. Adalah kepentingan Inggris dan Amerika untuk melindungi Arab Saudi dari musuh-musuhnya, yang sebagian besar adalah bagian dari dunia Muslim. Amerika Serikat melindungi Saudi dari sosialis Arab radikal yang mengancam untuk menggulingkan monarki di Semenanjung Arab. Amerika Serikat juga melindungi Arab Saudi dari Iran.
Di luar itu, Saudi (bersama dengan Israel dan Amerika Serikat) fokus melawan pengaruh Iran di wilayah tersebut. Turki menolak untuk menghentikan perdagangan dengan Iran, terutama di bidang minyak. Jadi Turki punya banyak alasan untuk menggunakan kematian Jamal Ahmad Khashoggi  sebagai instrumen untuk berhadapan dengan Saudi.
Arab Saudi dan Iran, adalah dua tetangga yang kuat - terkunci dalam perseteruan sengit, yang sudah berlangsung puluhan tahun di antara mereka diperparah oleh perbedaan agama. Mereka masing-masing mengikuti salah satu dari dua cabang utama Islam - Iran sebagian besar Muslim Syiah, sementara Arab Saudi melihat dirinya sebagai kekuatan Muslim Sunni terkemuka.
Perpecahan agama ini tercermin dalam peta Timur Tengah yang lebih luas, di mana negara-negara lain memiliki mayoritas Syiah atau Sunni, beberapa di antaranya melihat ke arah Iran atau Arab Saudi untuk mendapatkan dukungan maupun bimbingan.Â
Secara historis Arab Saudi, sebuah monarki dan rumah bagi tempat kelahiran Islam, melihat dirinya sebagai pemimpin dunia Muslim. Namun hal ini ditantang pada tahun 1979 oleh revolusi Islam Iran yang menciptakan jenis negara baru di kawasan itu - sejenis teokrasi revolusioner - yang memiliki tujuan eksplisit untuk mengekspor keluar perbatasannya sendiri.
Dalam 15 tahun terakhir khususnya, perbedaan antara Arab Saudi dan Iran telah dipertajam oleh serangkaian peristiwa. Arab Saudi dan Iran berupaya mengubah perjuangan nasional mereka menjadi konflik agama. Yang pertama berbahaya. Yang kedua bisa menjadi bencana. Ada banyak hal buruk untuk dikatakan tentang rezim Teheran. Ia otoriter, didominasi oleh fundamentalisme yang tidak toleran, dan represif secara politik. Ia adalah intervensionis di luar negeri, mendukung Hizbullah dan Bashir al-Assad di Suriah. Lama bermusuhan dengan Amerika Serikat, Iran telah menunjukkan minat pada senjata nuklir dan rudal balistik.