Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

(Masih) Menanti Mobil Nasional

22 Mei 2020   17:19 Diperbarui: 22 Mei 2020   17:31 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : mobilinanews.com

VinFast Vietnam bahkan menggandeng Opel, BMW, Magna Steyr dan Pininfarina dalam mengembangkan produk-produknya. Karena industri otomotif termasuk "mahal", maka skala ekonomi produksinya juga harus dipertimbangkan. Skala produksi yang kecil tentunya tidak akan menguntungkan dari segi bisnis. 

Hal inilah yang membuat beberapa perusahaan otomotif belum berminat untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksinya. Untuk mencapai skala besar, tidak dapat berharap hanya pada pasar domestik, namun harus ditopang oleh ekspor yang artinya harus bersaing dengan merek-merek yang sudah mapan serta memenuhi standar internasional baik dalam hal kelengkapan fitur keselamatan maupun emisi gas buang.

Animo masyarakat untuk memiliki mobnas juga harus terpetakan dengan jelas. Bila ternyata tingkat penjualan mobnas tidak menggembirakan, tentunya akan menghambat pengembangan mobnas kedepannya. Sebagai contoh, Proton pernah menikmati masa kejayaan karena mendapat banyak subsidi dari pemerintah sehingga menjadi pemain utama dalam industri otomotif Malaysia karena menawarkan harga yang cukup murah dibandingkan kompetitornya pada waktu itu. 

Namun kini, kondisi Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang dikuasai merek Jepang, bahkan Proton telah berubah "kewarganegaraan" karena telah diakuisisi oleh Geely, sebuah perusahaan otomotif asal Tiongkok yang juga memegang merek Volvo.

Untuk memuluskan jalan bagi VinFast, Vietnam melakukan pembatasan terhadap mobil impor melalui syarat pengujian kendaraan hingga 3.000 km yang menimbulkan gelombang protes dari negara-negara yang selama ini memasok kendaraan ke negara tersebut seperti Thailand dan Indonesia. 

Untuk sebuah mobnas yang diposisikan melawan hegemoni merek-merek yang sudah ada, VinFast memiliki harga jual yang terhitung tidak murah. Model hatchback ditawarkan dengan harga awal sekitar Rp 241 juta, model sedan sekitar Rp 605 juta, dan model SUV sekitar Rp 865 juta. Harga tersebut akan berubah sesuai dengan periode pemesanan produk. Dengan harga yang cukup mahal tersebut, penulis meragukan kemampuan VinFast untuk bersaing dengan merek-merek petahana. Untuk membuktikan ketangguhan VinFast, tentunya kita perlu bersabar menunggu tiga sampai empat tahun dari sekarang.

Untuk Indonesia sendiri, tarik ulur Esemka membuat masyarakat mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam mengembangkan mobnas. Menghidupkan mobnas tentunya tidak hanya membutuhkan niat pemerintah, namun juga dukungan (atau mungkin fanatisme) dari masyarakat. Karakteristik konsumen otomotif Indonesia cenderung unik karena bukan hanya sensitif terhadap harga, namun juga mempertimbangkan merek, luasnya layanan purna jual, ketersediaan suku cadang dan harga jual kembali sebelum memutuskan untuk membeli sebuah kendaraan. 

Hal-hal inilah yang harus dicermati sebelum benar-benar melepas Esemka ke jalanan. Merek-merek Jepang yang memang unggul dalam hal-hal tersebut hingga saat ini masih tak tergoyahkan meskipun saat ini digempur oleh pabrikan Tiongkok yang menawarkan harga yang murah. 

Dengan demikian, jika Esemka benar-benar dikomersialkan, seberapa fanatik-kah masyarakat untuk membeli produk Esemka? Apakah masyarakat berani bertaruh pada sebuah merek baru yang belum berpengalaman, layanan purna jual yang masih terbatas serta kinerja mesin yang belum teruji di lapangan? Pada akhirnya, seolah-olah terjadi pertentangan antara jiwa nasionalisme dengan rasionalitas kita sebagai konsumen. 

Kenyataannya, masyarakat kita masih cenderung memandang rendah produk-produk buatan dalam negeri. Sebagai contoh, berapa banyak diantara kita yang menggunakan ponsel merek Advan, ataupun peralatan elektronik rumah tangga merek Polytron? Bukankah kedua merek tersebut murni karya anak bangsa? Tentunya kita sendirilah yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. 

Memaksakan Esemka di tengah-tengah ketatnya persaingan industri otomotif dalam negeri malah dapat menjadi bumerang dan ujung-ujungnya bernasib seperti Proton. Dalam skala global, pabrikan otomotif yang telah mapan seperti Toyota-Daihatsu, Renault-Nissan-Datsun-Mitsubishi, dan Kia-Hyundai malah memilih untuk menjalin aliansi agar dapat memenangkan persaingan dan menghemat biaya riset dengan saling berbagi platform kendaraan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun