Mohon tunggu...
Wayudin
Wayudin Mohon Tunggu... Guru - Pengabdian tiada henti

Seorang guru SMP swasta di kota Medan,tertarik dengan fenomena kehidupan masyarakat dan tak ragu untuk menyuarakan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tantangan Guru Zaman Milenial

22 Mei 2020   11:40 Diperbarui: 22 Mei 2020   11:41 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : m.lampost.co

Istilah “kids zaman now” ataupun generasi milenial tentunya tidak asing bagi kita semua. Adapun istilah tersebut merujuk pada tingkah laku anak-anak sekarang yang dianggap jauh berbeda bila dibandingkan dengan tingkah laku anak-anak generasi sebelumnya. 

Perbedaan yang kasat mata tersebut terjadi diantaranya karena “kids zaman now” lahir pada era digital, yang mau tidak mau membuat pola hidup mereka tidak lepas dari gawai dan pada akhirnya mereka dengan mudahnya menyerap nilai-nilai yang diperoleh dari interaksi mereka dengan dunia “lain” yang mereka temukan dalam gawai tersebut. Menyikapi perubahan drastis yang terjadi pada perilaku anak-anak tersebut, tentunya banyak hal yang juga harus disesuaikan dengan zaman “now” sehingga anak-anak tersebut tidak merasa enggan untuk mengadopsinya karena dianggap telah ketinggalan zaman.

Salah satu bidang yang harus berubah dan mengadopsi konsep kekinian tentunya adalah pendidikan karena dengan adanya “kids zaman now”, tentu saja akan membutuhkan “guru zaman now” yang kini diganti dengan istilah tenaga pendidik. Sebelum munculnya generasi “kids zaman now” sebenarnya perubahan dalam dunia pendidikan telah didengung-dengungkan. 

Pola pendidikan yang mengandalkan kekerasan dan menghafal mati pelajaran sebagaimana yang dirasakan oleh generasi terdahulu dianggap tidak sesuai lagi untuk diterapkan pada masa ini. Selain karena tidak menciptakan generasi yang kreatif (mampu mengembangkan ilmu yang diterimanya), kekerasan dalam dunia pendidikan dengan dalih disiplin juga melanggar HAM dan hanya melahirkan generasi yang akan melanjutkan “tradisi” kekerasan tersebut kepada generasi berikutnya.

Untuk menyukseskan perubahan dalam dunia pendidikan, perubahan kurikulum mutlak diperlukan. Sebut saja dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga yang paling anyar tentunya Kurikulum 2013 (K-13). Perubahan kurikulum tersebut turut mengamanatkan adanya perubahan dalam cara mengajar para tenaga pendidik. Metode ceramah yang dulunya jamak digunakan, kini diharamkan. 

Alih-alih sebagai penceramah, pada saat ini tenaga pendidik adalah seorang moderator yang bertugas untuk membimbing peserta didik dalam menemukan intisari pelajaran yang hendak disampaikan. Peserta didik yang dulunya lebih banyak pasif, kini diupayakan supaya lebih aktif melalui metode-metode pengajaran yang lebih bervariasi, baik melalui diskusi kelompok, kegiatan-kegiatan praktik, serta mempresentasikan hasil temuan mereka di depan kelas.

Untuk dapat mengakomodasi tuntutan kurikulum yang dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi dalam dunia pendidikan tersebut, kemampuan tenaga pendidik tentunya menjadi satu pertanyaan besar. Kurikulum yang dirancang dengan baik, namun tanpa didukung oleh kemampuan yang mumpuni dari tenaga pendidik untuk melaksanakannya tentu hanya akan menjadi sia-sia belaka. Untuk meningkatkan kemampuan tenaga pendidik sehingga mampu mengemban amanat kurikulum, maka pemerintah melalui dinas yang terkait, rajin melakukan sosialisasi serta mengadakan pelatihan terhadap tenaga pendidik yang masih aktif dalam dunia pendidikan.

Dari pemaparan singkat tersebut, sepertinya tugas seorang tenaga pendidik sangat sederhana dan bahkan dapat dilakukan oleh siapapun karena tenaga pendidik tinggal mengikuti arahan dari setiap kurikulum, disediakan pelatihan oleh pemerintah pula. Tidaklah mengherankan jika sebagian masyarakat berpendapat bahwa tenaga pendidik di Indonesia cenderung malas karena dianggap kurang produktif dalam menghasilkan karya tulis, serta malas untuk membaca buku selain buku dari mata pelajaran yang diampunya mengingat tugasnya yang cukup ringkas, yakni menyampaikan materi pelajaran. Benarkah tenaga pendidik Indonesia cenderung malas?

Saat ini, dunia pendidikan nasional sedang diarahkan menuju pembelajaran dengan  pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) yang kemudian disempurnakan menjadi PAILKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik). Secara singkat, pendekatan PAILKEM menuntut sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa.

Terkait dengan kehidupan nyata, mendorong peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi, melayani gaya belajar peserta didik yang berbeda-beda, interaksi multiarah antara peserta dengan tenaga pendidik, menggunakan lingkungan sebagai media pembelajaran, penataan lingkungan belajar, pemantauan hasil belajar, serta umpan balik terhadap hasil kerja peserta didik. 

Dapat dikatakan bahwa PAILKEM merupakan panduan dasar dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di lapangan (kelas), namun untuk dapat menerapkannya, tentunya tenaga pendidik perlu mempersiapkan perangkat ajar sebelum memasuki ruang kelas. Adapun perangkat ajar tersebut antara lain: silabus, program semester dan program tahunan, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), buku ajar serta alat-alat peraga yang mendukung. 

Agar materi ajar dapat disampaikan secara aktif dan menarik, seorang tenaga pendidik tentu harus merancang metode pengajaran serta aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan di dalam kelas dan tak lupa instrumen penilaian yang memadai. Kegiatan merancang metode pengajaran tentu membutuhkan waktu tersendiri, mengingat beda materi, tentu akan berbeda pula metode pengajarannya.

Katakanlah kegiatan pembelajaran berjalan sesuai harapan, tugas tenaga pendidik belumlah selesai karena masih harus memberikan penilaian serta umpan balik atas hasil kerja peserta didik. Dalam Kurikulum 2013 yang telah direvisi, terdapat empat Kompetensi Inti (KI) yang harus dinilai serta diberikan deskripsi atas predikat yang telah dicapai oleh peserta didik. Adapun keempat kompetensi tersebut mencakup sikap keagamaan, sosial, pengetahuan serta keterampilan, sementara untuk predikat disedehanakan dalam rentang A sampai D. 

Masing-masing predikat tentunya menuntut deskripsi yang berbeda serta menyatakan di mana letak keunggulan dan kelemahan peserta didik serta tak lupa bahwa dalam menuliskan deskripsi terdapat beberapa “pantangan” semisal dilarang menggunakan kata-kata yang saling bertentangan serta yang berkonotasi negatif. 

Singkatnya, diksi harus menjadi perhatian utama dalam menyusun kalimat deskripsi. Untuk dapat menentukan kompetensi dasar mana yang masih belum dikuasai peserta didik maka perlu dilakukan analisis terhadap soal dan hasil ujian peserta didik butir per butir. Di luar hal-hal rutin tersebut, tenaga pendidik juga masih harus melakukan analisis terhadap buku ajar serta merancang format penilaian sikap sosial sesuai dengan karakter yang ingin dicapai.

Dengan banyaknya hal yang perlu dipersiapkan dan dianalisis, dapat dipastikan bahwa seorang tenaga pendidik pastinya akan membawa pulang “tugas-tugas tambahan” tersebut untuk dikerjakan di rumah, sementara di rumah, peran sebagai seorang ibu rumah tangga ataupun sebagai kepala keluarga tidak dapat dikesampingkan hanya karena statusnya sebagai seorang tenaga pendidik sehingga selain sukses di profesi, mereka juga dituntut untuk sukses dalam berumah tangga. 

Dengan demikian, kapankah waktu bagi tenaga pendidik untuk menulis, sementara untuk menulis butuh gagasan yang diperoleh salah satunya dari membaca? Kapankah waktu untuk membaca sementara persiapan untuk mengajar di keesokan harinya harus dipersiapkan dengan baik? Belum lagi sebagian tenaga pendidik terpaksa harus mengejar 24 jam pelajaran dalam seminggu sebagai salah satu syarat pencairan Tunjangan Profesi Guru dengan cara mengajar di beberapa sekolah mengingat jumlah rombongan belajar di sekolah induknya tidak mencukupi.

Ternyata menjadi pendidik di zaman now tidak semudah yang dibayangkan, bukan? Bagi tenaga pendidik yang saat ini belum disertifikasi, sebelum menjalani tahap PLPG, diharuskan untuk ikut dalam forum pembelajaran daring selama beberapa bulan dan harus aktif dalam diskusi antar anggota forum serta mengumpulkan tugas yang diberikan dosen pembimbing tepat waktu dan jikalau mengikuti program Pendidikan Profesi Guru, maka pergumulan yang dihadapi adalah biaya kepesertaan serta vakumnya pendapatan selama mengikuti PPG yang dapat memakan waktu satu hingga dua tahun.

Amboi! Sungguh berat beban tenaga pendidik di zaman now. Selain mendidik, mengetahui perkembangan psikologis plus bersabar dengan perangai “kids zaman now” yang terkadang bikin geleng kepala, juga masih harus bersaing dengan gawai dalam memperebutkan perhatian dan menumbuhkan minat belajar peserta didik. Sepertinya manusia biasa akan sulit untuk menjadi sosok ideal tenaga pendidik zaman now karena masih memiliki kepentingan pribadi sehingga tidak dapat mendedikasikan setiap detik dalam hidupnya hanya untuk dunia pendidikan.

Namun kabar gembiranya, melalui program Merdeka Belajar yang dicanangkan Kemendikbud ssat ini, semua tugas-tugas administratif di atas akan disederhanakan. RPP pun hanya tinggal selembar. Sayangnya pelaksanaan Merdeka Belajar harus terganggu oleh merebaknya pandemi di Indonesia sehingga belum terlihat jelas apa plus-minus dalam pelaksanaannya di lapangan. Semoga saja Merdeka Belajar bisa membawa pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun