Mohon tunggu...
Wawan Setiadi
Wawan Setiadi Mohon Tunggu... Karyawan sekolah di yogyakarta

Orang yang senang belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Negara Pelit Menyelamatkan Nyawa Rakyat

8 Juli 2025   19:09 Diperbarui: 24 September 2025   15:06 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tengah gemuruh janji perlindungan warga negara, ada kisah pilu yang terus berulang: tim SAR terjebak medan gunung tanpa drone termal, kotak hitam pesawat teronggok di dasar laut berminggu-minggu, atau kapal penuh penumpang tenggelam tanpa respons cepat.

Tragedi Sukhoi (2012), KM Lestari Maju (2018), dan Sriwijaya Air (2021) bukan sekadar musibah, melainkan cermin kegagalan sistemik negara menghargai nyawa. Ironisnya, kegagalan ini berakar pada sikap pelit yang tersistematiskan dalam kebijakan anggaran. Pemerintah mengalokasikan Rp1,72 triliun untuk Basarnas pada 2025, tetapi dengan bangga menyembunyikan bahwa angka itu Rp780 miliar di bawah kebutuhan minimal versi ahli. 

Padahal, untuk membeli satu unit ROV (kendaraan bawah air) berteknologi tinggi yang mampu menyelamatkan korban di laut dalam, Basarnas membutuhkan Rp800 miliar. Sementara itu, anggaran hibah e-sport Rp560 miliar nyaris disetujui tanpa debat, dan pembebasan tanah untuk tol Trans-Sumatra menelan Rp17,2 triliun---sepuluh kali lipat anggaran penyelamatan jiwa. Di sini, logika kekuasaan terbuka lebar: proyek mercusuar adalah "investasi", sementara nyawa rakyat hanyalah "beban".  

Dalih keterbatasan APBN yang dikumandangkan Kemenkeu runtuh oleh fakta pesta pembukaan G20 2022 yang menghabiskan Rp17 triliun untuk satu malam. Lalu, bagaimana mungkin negara menganggap Rp800 miliar untuk satu ROV penyelamat jiwa dianggap terlalu mahal?

Padahal, setiap jam keterlambatan evakuasi di laut mengurangi peluang hidup korban hingga 70% menurut kajian TNI AL. Setiap nyawa yang gagal diselamatkan adalah kerugian ekonomi Rp1,2 miliar (versi BPJS), belum lagi denda investigasi dan trauma kolektif. Saat Sriwijaya Air jatuh, Indonesia sampai meminjam ROV Singapura selama sembilan hari---sebuah penghinaan bagi bangsa yang mengaku poros maritim. Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Hukum UI, menyentak kita dengan pertanyaan: "Jika negara mampu membeli pesawat tempur Rp10 triliun, mengapa alat penyelamat dasar justru dipersoalkan?"  

Persoalannya bukan sekadar defisit anggaran, melainkan distorsi moral kekuasaan. Usulan Basarnas rutin dipotong 20--25% setiap tahun, sementara alokasi disalurkan di akhir tahun yang memicu pemborosan. Tak ada sanksi bagi pejabat yang mengabaikan standar SAR, dan tak ada kemauan politik membuat UU khusus yang menjamin anggaran minimal 0,1% APBN (Rp3,5 triliun). 

Solusinya membutuhkan revolusi paradigma: pertama, mengubah keselamatan rakyat dari "beban" menjadi "investasi nasional" dengan payung hukum mengikat. Kedua, memberlakukan sanksi pidana bagi pejabat yang lalai memenuhi standar operasional SAR. Ketiga, melibatkan KPK dan organisasi sipil dalam audit pengadaan alat. Bambang Soelistyo, Mantan Kepala Basarnas, mengingatkan: "Dengan 17.504 pulau, hanya 40% wilayah Indonesia yang tercover alat SAR memadai. Jika tak berubah, setiap bencana akan jadi kuburan massal."  

Di ujung tulisan ini, kita dihadapkan pada pertanyaan yang menghantui nurani: ketika Rp17 triliun dihabiskan untuk pesta pora elit global, apakah Rp800 miliar untuk menyelamatkan ratusan nyawa rakyat sendiri terlalu mahal?

Jika jawabannya "ya", maka pemerintah telah membisikkan kalimat kelam: "Maaf, nyawamu kurang bernilai untuk diselamatkan." Dan sejarah akan mencatat, Indonesia bukan bangsa yang miskin uang, melainkan miskin rasa peduli.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun