Kisah pilu Juliana Marins, pendaki Brasil berusia 27 tahun yang tewas setelah jatuh di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, telah menjadi sorotan tajam, khususnya di negara asalnya.
Tragedi ini tidak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan sahabatnya, tetapi juga memicu pertanyaan besar mengenai keselamatan pendakian di gunung-gunung Indonesia. Namun, dalam mencari jawaban atas "siapa yang bertanggung jawab," penting bagi kita untuk melihat permasalahan ini dari berbagai sisi, menimbang kompleksitas antara peran pengelola gunung dan tanggung jawab pribadi pendaki.
Ketika Alam Menunjukkan Kekuatannya
Gunung Rinjani, dengan puncaknya yang menjulang 3.726 meter di atas permukaan laut, adalah salah satu mahakarya alam yang memukau sekaligus menantang. Medannya yang terjal, jurang-jurang dalam, serta kondisi cuaca yang bisa berubah drastis---dari cerah menjadi berkabut tebal dengan angin kencang dan suhu dingin ekstrem dalam hitungan menit---menjadikannya destinasi bagi para petualang sejati. Namun, kondisi ekstrem ini juga membawa risiko tinggi.
Lokasi kecelakaan Juliana, yang jatuh ratusan meter ke jurang, adalah daerah yang sangat terpencil dan sulit dijangkau. Operasi penyelamatan di medan seperti ini bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga tentang keselamatan tim penyelamat itu sendiri. Setiap langkah harus diperhitungkan matang untuk menghindari bahaya susulan seperti longsor atau bebatuan jatuh, yang bisa membahayakan nyawa para relawan.
Peran dan Tanggung Jawab Pengelola: Antara Upaya dan Batasan
Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) sebagai pengelola, memang memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin keselamatan pendaki. Mereka telah menerapkan berbagai aturan dan peringatan yang sebenarnya sudah lama ada, bukan baru muncul setelah insiden ini.
Persyaratan seperti surat keterangan sehat, kelengkapan peralatan standar pendakian, keharusan mendaki dalam kelompok (minimal dua orang), serta kewajiban mengikuti jalur resmi, adalah bagian dari Standar Operasional Prosedur (SOP) yang terus diperbarui berdasarkan pengalaman masa lalu. TNGR memiliki rekam jejak panjang dalam menangani insiden di Rinjani, dan setiap kejadian menjadi pelajaran untuk meningkatkan sistem keselamatan.
Dalam kasus Juliana Marins, tim SAR gabungan (BASARNAS dan pihak terkait lainnya) mengklaim telah mengerahkan upaya maksimal. Namun, kondisi medan yang ekstrem, visibilitas yang buruk akibat kabut tebal, dan cuaca dingin yang menusuk tulang, seringkali menjadi hambatan terbesar dalam operasi penyelamatan di ketinggian. Prioritas utama tim SAR adalah keselamatan mereka sendiri agar tidak menjadi korban berikutnya, yang terkadang berarti menunda operasi hingga kondisi lebih aman. Jadi, menuding "keterlambatan" tanpa memahami tantangan di lapangan adalah hal yang kurang bijak.
Tanggung Jawab Pendaki: Kesiapan dan Kesadaran Diri
Di sisi lain, setiap pendaki juga memikul tanggung jawab besar atas keselamatan dirinya sendiri. Mendaki gunung, apalagi yang sekelas Rinjani, bukanlah sekadar rekreasi biasa. Ini menuntut persiapan fisik dan mental yang prima, pengetahuan dasar tentang survival dan navigasi, serta perlengkapan yang memadai.