Semenjak reformasi 1998, negara kita seolah mengalami eforia, yaitu siapa pun bisa mengungkapkan pendapatnya. Sehingga sering kali kita menemukan paradoks, yaitu ketika suatu pihak yang berbuat kebaikan, justru dihambat, dikritik bahkan ditentang.
Hal ini tidak hanya terjadi dalam tataran makro, dalam kehidupan bernegara, namun juga dalam kancah yang lebih kecil. Banyal kaum muda yang kelihatannya pintar menggunakan alat canggih. Namun jika menghadapi masalah yang agak sulit, mereka patah semangat atau melakukan perilaku yang menyimpang. Sebenarnya apa yang terjadi?
Saat ini merupakan era perubahan. Memang perubahan bisa terjadi setiap saat. Pada masa lalu kita mengenal Perang Dunia I, Perang Dunia II, perang dingin, kemudian krisis moneter. Apa yang berbeda dengan perubahan yang terjadi saat ini?
Yang membedakan adalah intensitasnya. Dan perubahan besar bisa terjadi jika ada banyak faktor yang terjadi secara hampir bersamaan. Beberapa bisa disebut. Refolusi media digital menyebabkan makna identitas harus didefinisi ulang. Globalisasi ekonomi menyebabkan peluang dan tantangan baru. Ancaman krisis minyak dan perubahan iklim. Hal-hal ini menyebabkan ketidak pastian masa depan.
Sosiolog Zygmunt Bauman mengatakan bahwa ketika manusia berhadapan dengan ketidak pastian, yang tidak memiliki preseden, maka manusia akan membuat seni hidup permanen dalam ketidak pastian. Artinya, suasana ketidak pastian pasti akan berimbas pada kehidupan manusia.
Bauman mengibaratkannya dengan pertandingan lari di kota yang tidak dikenal. Berlari hanya berbekal peta yang diberikan sebelum perlombaan dimulai. Dalam perlombaan lari, berlaku hukum bahwa siapa yang cepat, dia akan menang.Â
Jika pelari ingin menang, dia tidak boleh melambat. Persoalannya, pelari tidak mengenal rute mana yang bisa memberinya kemenangan. Bisa jadi ada rute pendek tapi tidak bisa cepat. Bisa jadi ada rute cepat tapi ongkosnya mahal. Dan seterusnya.
Dalam kondisi seperti ini, solusi terbaik seharusnya adalah mempelajari peta terlebih dahulu. Namun untuk mempelajari peta, pelari harus mengurangi kecepatannya. Mengurangi kecepatan artinya membiarkan dirinya jauh tertinggal dari garis persaingan. Namun jika pelari tidak mempelajari peta, dia bisa tersesat.
Gambaran inilah yang banyak terjadi di negara kita. Banyak orang yang merelakan dirinya tersesat hanya demi kemenangan. Akibatnya, ada pejabat yang korup, ada artis pesohor yang menggunakan narkoba, ada pelajar atau mahasiswa yang mengutamakan penampilan dari pada mengasah otak. Orang-orang seperti ini bisa dikatakan sudah kehilangan arah. Mereka tersesat karena terlalu sibuk mengejar tujuan di depan.
Agar tidak tersesat kita perlu memperlambat lari sambil mempelajari peta. Artinya kita perlu untuk merefleksikan apa yang sudah kita lalui: dari mana, sudah sampai mana dan mau ke mana. Apakah kita masih pada tujuan awal ketika kita dulu berangkat. Apakah kita saat ini masih bisa melihat tujuan itu dengan jernih.
Para politisi perlu untuk merenung, sebenarnya mereka berjuang untuk siapa: apakah untuk kesejahteraan rakyat atau untuk ambisi pribadi. Para pengusaha perlu untuk merenung apakah akan menguntungkan dalam jangka panjang jika mereka mengeruk kekayaan alam dan konsumennya secara berlebihan.Â
Para pelajar dan mahasiswa juga perlu merenung apakah mereka sudah cukup dalam mempersiapkan masa depan mereka, ataukah hanya untuk kepentingan hari esok.
Memang dengan memperlambat diri, kadang kita harus mengeluarkan ongkos (waktu, uang, tenaga) ekstra supaya tetap bisa bersaing. Namun dengan mempelajari peta perjalanan, kita bisa tahu bahwa kita dari mana, mau kemana dan sudah sampai mana. Dengan mempelajari peta kita tidak akan tersesat atau terjebak dalam kesesatan