Mohon tunggu...
Wartini Sumarno
Wartini Sumarno Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Kopi

Penyuka film, anime, juga suka wisata sejarah sekaligus wisata religi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jilbab Syar'i

19 Februari 2023   18:54 Diperbarui: 19 Februari 2023   21:11 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya masih sekolah hingga dewasa beberapa orang mengatakan penampilan saya tidak mencerminkan seorang muslimah. Tidak "syari", hanya karena saya lebih suka memakai celana ketimbang rok, memakai kemeja ketimbang gamis, dan terutama gaya jilbab atau kerudung saya yg tak menutupi dada karena ujungnya saya ikat kebelakang. 

Itu saya lakukan karena alasan kepraktisan juga kenyamanan. Jika panjang jilbab menentukan nilai keimanan dan kesucian seseorang, itu berarti para nyai (istri kiyai) zaman dulu yang hanya memakai kain sejenis selendang yang disampirkan ke atas kepala seadanya sehingga tetap menampilkan rambut maka, tidak syari juga tidak muslimah. Terlebih di zaman pra kemerdekaan itu, mayoritas perempuannya memakai kebaya yang tentu saja menampakan bagian leher juga sedikit bagian dada.

Saya jadi teringat dengan esainya mbak Kalis Mardiasih yang berjudul "sebuah curhat untuk girlband jilbab syari". Dimana dalam esai tersebut menceritakan tentang pengalaman mbak Kalis sewaktu kecil kalau sekolah atau ngaji ya pakai jilbab, kalau di rumah apalagi musim hujan keluar main kadang cuma pakai celana dan kaos lekbong (you can see). Jadi, bisa dibilang mbak Kalis syari sekaligus porno.

Sepakat dengan mbak Kalis, simbol memang dipersepsikan mewakili sesuatu dan jilbab dianggap mewakili muslimah. Dan entah bagaimana jilbab menimbulkan pusaran arus dikotomi "syari dan tidak syari".

Dewasa ini, kita gandrung akan surga. sehingga segala sesuatu mulai dari makanan yang kita makan, sampo yang kita gunakan, hingga jilbab yang kita pakai harus berlebelkan "halal dan syari" yang merupakan cerminan dari "hijrah" katanya. Trennya mode hijrah tidak terlepas dari pengaruh islamisasi iklan. Seolah kalau tak pakai produk dengan cap "halal dan syari" maka kamu tak cukup "muslim".

Saya sepakat dengan Julia Suryakusuma bahwa agama lebih dari sekedar neraca moral, tapi lebih sebagai spiritualitas dan hubungan kita dengan Tuhan. Sejak dulu memang ciri islam di indonesia membuat negara kita menjadi etalase keragaman islam. Tidak mengherankan, mengingat pluralitas etnis, budaya, dan sosial kita!

Ya, kita memang punya penganut garis keras yang menggunakan agama untuk mengesahkan tindak kekerasan yang merusak dan yang mengerikan. Tapi kita juga punya intelektual liberal yang berpengaruh (seperti Gus Ulil Abshar Abdalla misalnya), dan tradisi sufi yg lembut dan sudah mapan (seperti Habib Lutfhi bin Yahya misalnya).

Belajar agama tanpa guru memang bahaya yang bisa menyebabkan taqlid buta. terlebih, sekarang anda bisa "berbelanja" fatwa di internet dan menggoogle kiyai. Secara keseluruhan, tren yang sangat tampak adalah komodifikasi kesalehan.

Kalau kata mas wafa, ya sangat islami. Padahal kiranya yang orang perhatikan dari kita bukan seberapa banyak ayat dan dalil yang kita hafal, tapi sikap ramah kita terhadap sesama. Bantuan kecil yang kita tawarkan pada tetangga. Seperti kata Habib Ali Al-Jufri dalam bukunya yang berjudul "Humanity Before Religiosity", kemanusiaan dulu baru keberAgamaan.

Wallahu A'lam Bishowab

Boleh tidak sepakat

*Saketi, 30 Juni 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun