Mohon tunggu...
Didik M.riyadi
Didik M.riyadi Mohon Tunggu... -

Pejabat birokrat yang marah-marah, Humas yang mengancam, narasumber yang mengelak, hingga institusi yang tidak terima, semuanya adalah resiko pekerjaan. Seorang walikota yang tiba-tiba bertanya dan kemudian membantu, saat mendirikan gubuk dan kehabisan ‘peluru’. Seorang Kapolsek yang tiba-tiba muncul di rumah, sembari membawa parcel yang katanya pemberian dari koleganya. Seorang aktifis demo yang dengan gampangnya memberikan sebuah amplop tebal, yang katanya hasil bargaining dengan seorang pejabat, saat tahu anak saya masuk rumah sakit. Hingga seorang peladang papa, yang membawa satu karung goni berisi ketela, kacang brol, dan 2 sisir pisang hasil kebun ke rumah. Karena saya sudah berhasil ‘memaksa’ walikota Sukawi bersama istrinya untuk menengok dan akhirnya memberi bantuan anaknya yang tidak mempunyai anus. Semuanya adalah pengalaman hidup. Semuanya adalah perjalanan panjang menikmati semua keterbatasan sebagai manusia yang tidak pernah sempurna. Dan saat usia mulai membatasi diri, maka yang terbaik bagi saya adalah, bagaimana membuat arti sebelum semuanya diakhiri. Terimakasih untuk semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memilih Program Studi di Perguruan Tinggi

6 Januari 2014   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

oleh : Drs Gunawan Witjaksana M.Si

LEPAS pengumuman kelulusan ujian nasional dan ujian sekolah, sebahagian siswa lulusan SMA/SMK tentu bersiap-siap melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Yang belum lulus pun sebahagian mungkin juga ikut mengadu nasib, mengingat Mendiknas telah menginstruksikan kepada Dirjen Dikti dan Dirjen Disdakmen untuk mengeluarkan surat kepada Sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi(PT) agar dapat menerapkan penerimaan bersyarat. Melalui cara itu, siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional(UN) tetap bisa kuliah dan diberi kesempatan megikuti UN susulan paling lambat 1 tahun (Suara Merdeka, 2 Juli 2005).

Sesuai dengan keyakinan serta adat kebiasaan yang ada, biasanya pilihan utama mereka tentu memilih program studi ( progdi ) yang ada di PTN, bahkanbanyak diantaranya yang tidak mengacuhkan program studi yang dipilihnya, yang penting bisa diterima di PTN. Mereka ini bahkan sama sekali tidak peduli pada kriteria akreditasi yang diperoleh program studi yang dipilihnya. Ini bukan berarti kreteria akreditasi baik oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) atau lembaga akreditasi lainnya tidak penting, namun bagi mereka kriteria tersebut belum menjadi perhitungan utama.

Tidak bisa disalahkan anggapan mereka yang demikian. Dan memang itulah kenyataan yang ada ada pada sebahagian siswa beserta para orang tua saat ini. Meski ada yang sejak awal telah mempunyai pilihan program studi dan yang dipilihnya mungkin bukan PTN melainkan PTS favorit, namun kenyataan masih menunjukkan sebahagian besar lainnya memilih program studi di PTS hanya sebagai cadangan, dan mereka akan segera pindah ketika mereka dinyatakan diterima di PTN. Pertanyaannya, masih relevankah sebenarnya cara berfikir demikian ? Bagaimana sebenarnya memilih program studi di PT yang ideal itu?

Ketatnya Persaingan

Bukan merupakan rahasia lagi bahwa persaingan antar PT makin ketat. Hitung saja misalnya di Jawa Tengah saat ini tercatat lebih dari 170 PTS, dengan berbagai macam program studi yang dimilikinya. Belum lagi PTN pun ikut memeriahkan suasana dengan membuka berbagai program studi non reguler dalam berbagai jenjang. Meski pelaksanaan program studi non reguler itu disinyalir melanggar SK. Dirjen Dikti No. 28, namun kenyataannya jalan terus, bahkan ironisnya ada petinggi PTN yang beberapa waktu yang lalu membuat pernyataan lewat media bahwa apa yang dilakukan lembaganya adalah pelanggaran bermartabat.

Banyak orang yang selanjutnya bingung sambil bertanya-tanya kok ada pelanggaran yang bermartabat. Padahal kenyataannya sudah bukan rahasia lagi bila banyak mahasiswa reguler justru masuk melalui seleksi yang sangat ketat mengeluh tentang diskriminasi pelayanan, bahkan konon menurut berbagai kalangan user pun mulai melihat apakah pelamar itu berasal dari mahasiswa reguler atau non reguler.

Menghadapi ketatnya persaingan ini PTS pun tak kehilangan akal. Selain menggunakan berbagai media untuk mengiklankan diri, cara yang mereka gunakan pun kadang mulai kurang sehat. Perhatikan saja misalnya janji terhadap waktu kelulusan yang di luar kewajaran, bahkan ada PTS yang menjanjikan door prize barang yang cukup menggiurkan. Ke dua contoh tersebut tentu perlu dicermati dan dipertanyakan, mengingat singkatnya waktu studi di luar kewajaran tentu akan berpengaruh pada kualitas lulusan. Sedang pemberian door prize yang meniru gaya iklan produk umum dengan menggunakan metode “ Icing Device”, jelas tidak ada relevansinya dengan kualitas PTS beserta program studi yang ditawarkan, bahkan ada kesan menyesatkan.

Karena itu, siswa beserta orang tuanya perlu lebih teliti dalam memilih, sebelum menentukan menentukan pilihannya. Menariknya penawaran yang dilakukan melalui iklan baik lewat media massa serta media lainnya, sebaiknya membuat siswa beserta orang tua melihat secara intens berbagai fasilitas yang ada bukan hanya dari iklan atau publikasi yang dilakukan, namun melalui cara lain, dan bila perlu datang dan melihat kampus untuk membuktikan apakah kenyataan yang ada sesuai dengan apa yang disampaikan lewat publikasi.

Kualitas dan kebutuhan pengguna

Memilih program studi di PT memang perlu berhati-hati. Selain harus melihat kemampuan riil siswa yang akan masuk serta minat mereka terhadap PT dengan program studi yang akan dipilihnya, kualitas PT beserta program studinya serta kebutuhan user(pengguna) perlu dipertimbangkan pula.

Memaksakan kehendak terhadap anak sudah bukan jamannya lagi. Demikian pula bila membiarkan anak latah sekedar ikut-ikutan teman memilih sering kelak hanya akan menghasilkan penyesalan yang terlambat. Karena itu, agar kelak apa yang diharapkan tercapai atau setidaknya mendekati kenyataan, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan baik oleh siswa atau orang tuanya, antara lain : pertama, status atau eksistensiprogdi beserta PT yang dipilihnya. Adanya ijin Mendiknas melalui SK Dirjen Dikti setidaknya menunjukkan bahwa progdi dan PT tersebut tidak liar, alias mempunyai ijin resmi. Dengan demikian, keberadaan progdi di PT tersebut setidaknya dijamin pemerintah, karena sebelum mengeluarkan ijin, pemerintah telah memprasyaratkan berbagai hal yang cukup berat.

Ke dua, meski UU No.20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional tidak memprasyaratkan akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional(BAN)melalui kata-kata dan atau dalam salah satu pasal menyangkut kualitas PT, namun setidaknya kriteria akreditasi tertentu ( A, B, Atau C ) dari BAN menunjukkan adanya kualifikasi tertentu yang terkait kualitas calon lulusannya. Akan lebih mantap lagi bila prodi di PT juga memperoleh kriteria akreditasi dari lembaga lain, misal ISO, AIMO,dsb.

Ke tiga yang tak kalah pentingnya tentu adalah kondisi riil dari progi di PT yang hendak dipilihnya. Ini penting, mengingat bukan tidak mungkin apa yang kita ketahui lewat publikasi tidak sesuai kenyataan. Di era sekarang ini, pasar kerja tidak hanya cukup melihat ijazah yang kita miliki, tetapi mereka cenderung menguji kemampuan yang kita miliki. Karena itu, fasilitas laboratoriun (termasuk ilmu-ilmu sosial terapan seperti komunikasi, bahasa, dsb) perlu dilihat secara cermat.

Keyakinan bahwa tidak mungkin mendidik dokter atau calon komunikator misalnya, dengan hanya memberinya teori saja, harus kita perhatikan. Ke depan kita yakin bahwa yang dibutuhkan bukan lagi orang yang siap tahu namun siap pakai. Dengan demikian pola serta sistem pendidikan konvensional harusdirubah menjadi pola pendidikan berbasis kompetensi atau link and matcth seperti yang pernah dicanangkan Mendikbud Wardiman Djoyonegoro dulu.

Ke empat, tentu kesesuaian antara minat serta kemampuan siswa dengan prgdi yang akan dipilihnya, sekaligus diperhitungkan dengan kebutuhan user (pengguna) pada saat lulus nanti. Ini penting, mengingat banyak mahasiswa yang berhenti di tengah jalan, karena merasa tidak mampu atau tidak sesuai minatnya. Demikian pula bagaimana data lapangan yang menunjukkan besarnya jumlah lulusan yang terpaksa menganggur atau bekerja seadanya, karena ternyatajumlah lulusan dari progdi yang dipilihnya telah banyak yang menumpuk dan menganggur.

Karena itu dalam memilih progdi beserta PT nya, siswa beserta orang tuanya tidak boleh hanya terjebak oleh ambisi, eforia teman, bahkan gemebyar menariknya iklan yang disampaikan oleh berbagai PT melalui berbagai media yang cenderung makin menakjubkan, dan tak jarang menghasilkan misperception. Kata-kata tidak seindah yang dibayangkan sering terlontar oleh mereka yang kecewa terhadap pilihannya.

Bagi penyelenggara pendidikan pun sebenarnya hal semacam itu harus menjadi warning. Bagaimana pun informasi tentang kepuasan atau ketidakpuasan dari mahasiswanya ke luar akan menjadi media publikasi efektif atau sebaliknya menjadi mesin penghancur yang efektif pula. Terlebih dengan adanya kesepakatan melalui GATS, yang mau tidak mau akan makin menyebabkan ketatnya persaingan, mengingat melalui kesepakatan itu PT asing tentu akan ikut bersaing memperebutkan calon mahasiswa.

Karena itu, ke depan penyelenggara PT harus benar-benar berbenah diri, sebaliknya orang tua dan siswa pun perlu berhitung secara cermat sebelum menjatuhkan pilihannya. Dengan demikian simbiosis mutualis antara ke duanya mudah-mudahan menghasilkan kemaslahatan bagi ke dua pihak, baik bagi masa depannya, sekaligus pengembangan kualitas progdi beserta PT kita di masa depan.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun