Sejak pandemi Covid-19 usai, bukan hanya ruang maya yang dipenuhi oleh aktivitas manusia. Kota dengan segala perniknya, kembali dipadati oleh aktivitas manusia. Kerumunan sosial yang  sebelumnya dipandang tabu dan dapat memicu serta memacu lonjakan kasus Covid-19 kini telah beralih kembali seperti semula, bahkan lebih meriah dari sebelumnya.
Sepanjang tahun 2023–2025, di saat bulan puasa, sebagai contoh indikator aktivitas sosial tertinggi di kawasan urban, hampir setiap hari selama dua minggu sebelum lebaran, jalanan, pasar, dan ruang publik lainnya benar-benar lumpuh oleh kemacetan dan kepadatan arus manusia.
Banyak yang tidak menyadari, dalam skala besar, jumlah kerumunan dapat menjadi celah penyebaran bukan hanya virus korona juga penyakit lainnya. Namun manusia urban tampaknya tidak terlalu peduli dengan semua ini.
Ketika Organisasi Kesehatan Dunia melonggarkan pembatasan sosial dan mencabut status darurat Covid-19 pada pada Mei 2023, yang sebelumnya mewanti-wanti akan terjadinya gelombang kedua penularan korona yang lebih mematikan, kenyataannya tidak terbukti.
Maka sebagian besar manusia di planet Bumi ini secara psikologis menyimpulkan bahwa Covid-19 telah selesai, setidaknya dari sudut pandang mereka sendiri.
Gambaran situasi ini tampaknya identik dengan kondisi ketika orang-orang Eropa melewati masa kelam wabah hitam (Black Death). Mereka berhamburan keluar rumah dengan sukacita, menyambut harapan baru yang sebelumnya benar-benar terkubur dalam kabut kecemasan.
Antara kehidupan dan kematian memang selalu dipisahkan oleh sekat yang tipis, tetapi dalam dua momen sejarah: wabah hitam di abad pertengahan dan pandemi Covid-19 di era modern, sekat itu terlihat jelas dan nyata bagi umat manusia.
Manusia urban memang mudah terlepas dari belenggu yang sebelumnya mengancam dan mengekang kebebasan mereka. Di berbagai belahan dunia, ruang publik dan ruang terbuka menjadi lebih ramai dan sesak pascapandemi.
Saya ambil contoh, satu minggu setelah pengumuman bahwa situasi telah membaik, Lapang Merdeka Kota Sukabumi seketika menjadi lautan manusia setiap akhir pekan. Burung-burung yang sempat menyuarakan keriangan di tengah sunyinya kota selama masa pandemi, kini terusik kembali oleh padatnya aktivitas manusia.
Membicarakan manusia urban, kajian-kajian tentang perkotaan biasanya lebih banyak menyoroti keberadaan kelas menengah ke atas, dari mulai gaya hidup, konsumsi, daya beli, dan orientasi pasar. Mereka adalah warga kota yang telah memiliki kendaraan pribadi, tinggal di perumahan yang nyaman, dan menikmati gaya hidup di pusat perbelanjaan.
Walakin, belakangan ini, perhatian sudah semestinya dialihkan kepada kelas menengah ke bawah, masyarakat rentan di kawasan urban yang hidup dalam kepadatan, lingkungan seadanya, dan tingkat kesadaran terhadap pendidikan serta kebersihan yang masih terbatas.