Mohon tunggu...
F.X. Warindrayana
F.X. Warindrayana Mohon Tunggu... -

mari berbagi hal baik lewat tulisan, "nemo dat quod non habet"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Ada di Sini Bukan untuk Membenci, Selamat Hari Valentine!

14 Februari 2018   11:31 Diperbarui: 14 Februari 2018   11:38 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Bulan Februari. Bagi sebagian kalangan, kedatangannya membangkitkan romantisme dan sensasi cinta luar biasa. Di Eropa Tengah, burung-burung berkicau riang saling mencari pasangan, mengawali musim kawin yang memuncak pada pertengahan bulan ini. Orang-orang pun terhanyut dalam suasana itu. Mereka juga saling mengungkapkan kasih sayang dan cintanya kepada orang yang dekat di hati.

Mereka menengarai saat itu sebagai Hari Valentine yang jatuh pada tanggal 14, tepat pada pertengahan bulan Februari. Tanggal itu konon dirayakan sekaligus untuk memperingati SantoValentinus, seorang suci, yang hidup penuh cinta pada sesamanya. Ia meninggal pada tanggal 14 Februari 270, dan selanjutnya dianggap sebagai pelindung pasangan yang sedang menjalin cinta. Tidak begitu jelas awal mulanya, tetapi kebiasaan untuk mengungkapkan kasih sayang pada Hari Valentine sudah dikenal sejak abad pertengahan.

Mengapa mereka merasa perlu mengkhususkan satu hari untuk mengingat dan mengungkapkan kasih sayang? Bukankah kasih sayang selalu ada dalam diri dan terungkap tiap hari? Mungkin, pertanyaan itu muncul dalam benak kita. Tetapi, rasa-rasanya terdengar naif kalau pertanyaan itu masih terungkap di tengah kita sekarang ini. 

Siapapun yang masih terketuk nuraninya akan merasa prihatin dengan munculnya perilaku baru warganet yang cenderung ringan hati untuk saling hujat dan menebar ujaran kebencian. Humanitas mulai dipertanyakan ketika sama-sama sebagai satu species, manusia bisa saling melakukan kekerasan hanya karena perbedaan suku, agama, atau paham yang dianutnya. 

Tindak kekerasaan terhadap pemuka agama-agama pun dilakukan, sehingga juga melukai hati dan mengusik emosi pengikutnya. Ustadz dan Bhikkhu belum lama diberitakan jadi korban penganiayaan. Paling anyar, Minggu 11 Februari lalu, giliran pastor di Sleman yang sedang memimpin Misa jadi korban sabetan pedang. Pada hari dan tanggal yang sama, pengurus Klenteng Kwan Tee Koen di Jawa Barat diberitakan mendapat ancaman ledakan bom.

Teror ledakan bom pun pernah kita alami.  Bom telah menebar maut dan penderitaan di mana-mana di seluruh penjuru dunia. Sulit dibayangkan apa yang akan dikatakan oleh Albert Nobel, seandainya ia menyaksikan penderitaan para korban. Nobel, ilmuwan Swedia yang pada tahun 1864 menemukan cairan berminyak yang mudah meledak itu mungkin sangat kecewa dan berduka. 

Cairan yang ditemukannya itu belakangan dikenal sebagai nitrogliserin. Uji coba peledakan pertama kali di Swedia menghasilkan ledakan dahsyat dan telah menewaskan satu orang. Tak dipungkiri penemuannya itu turut berperan dalam memajukan kebudayaan manusia, seperti pembuatan Terusan Suez, industri tambang, atau pembuatan jalan-jalan tol di Amerika. Namun, berapa nyawa melayang ketika dinamit dan bom digunakan untuk membunuh orang?

Einstein (1879-1955) yang menemukan hukum-hukum terakhir dalam ilmu fisika, pada saat akhir hidupnya berkata, "Seandainya saya tahu, saya lebih baik menjadi tukang patri saja." Ia patut menyesal, karena formulanya dipakai sebagai dasar pembuatan bom atom pertama. Ia masih menyaksikan di hari tuanya ketika bom atom seakan telah menghadirkan kiamat bagi Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II.

Pada dasarnya, manusia mempunyai sisi gelap kecenderungan agresif. Abad pertengahan merupakan zaman para kesatria berperang naik kuda. Ketika mesiu ditemukan, mereka membuat senapan. Abraham Lincoln adalah orang pertama yang membeli senjata api otomatis untuk melindungi dirinya. Tetapi, ini tidak membantu. Ia mati tertembak. R.J.Gatling, si pencipta senapan mesin, berharap dengan alat otomatis itu satu orang prajurit bisa menggantikan tugas seratus orang, sehingga korban berkurang. Tetapi, nyatanya bala tentara dikerahkan di medan perang dengan jumlah lebih besar daripada sebelumnya.

Einstein yang sangat kecewa dan berduka mengatakan bahwa dia tidak tahu, dengan senjata apa orang-orang akan berperang pada Perang Dunia III, tapi pada Perang Dunia IV pasti akan terjadi perkelahian dengan tongkat-tongkat dan batu seperti terjadi pada orang-orang primitif. Tidak begitu jelas, apakah ini sebuah sindiran atau ungkapan frustrasi Einstein yang tidak mampu mencabut kembali formula temuannya yang ternyata menimbulkan banyak korban.

Kesadaran orang-orang Eropa Tengah akan pentingnya kasih sayang muncul seiring dengan berjayanya peperangan para kesatria sejak abad pertengahan. Meski hanya selembar surat ungkapan kasih sayang, tapi mampu menghentikan bentrokan dan kebencian. Bukankah sebenarnya kedamaian dan kasih sayang itu menjadi kerinduan terdalam setiap insan? Kalau begitu mengapa tidak bersama-sama kita upayakan? Hari Valentine, kendati lahir dari tradisi seberang tapi memuat pesan kebaikan universal, menjadi satu upaya agar manusia selalu ingat untuk mencinta sesama tanpa rasa benci. Seperti jauh hari Sophocles (497-406 SM) dalam Antigoneberkata, "Saya ada di sini bukan untuk membenci, melainkan untuk mengasihi." 

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun