Dalam sebuah acara peluncuran buku pada bulan Mei 2015, Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Dwikorita Karnawati memprediksi Indonesia akan bergerak menjadi negara maju pada 2030. Syaratnya, Indonesia harus menghasilkan banyak generasi muda yang berilmu dan berkarakter unggul. Presiden Indonesia ke-3 BJ Habibie juga pernah menyatakan rasa optimis bahwa masa keemasan Indonesia tinggal menunggu waktu karena pada dasarnya Indonesia memiliki bibit sumberdaya manusia yang bagus.
Pandangan dan prediksi di atas tidaklah berlebihan. Indonesia memang memiliki modal yang cukup untuk menjadi negara besar. Kekayaan alam negeri ini sangat melimpah. Wilayahnya pun sangat luas dan strategis. Ditambah modal besar lainnya yaitu komposisi demografi.
Hasil sensus penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 66% dari total jumlah penduduk. Pekerja usia muda (15-24 tahun) mencapai 26,8% atau 64 juta jiwa. Sementara jumlah penduduk lansia (di atas 64 tahun) tidak terlalu banyak dan pertumbuhan penduduk usia di bawah 15tahun dapat ditekan.Â
Kurang Dimaksimalkan
Sayangnya, sejauh ini peluang bonus demografi belum dimaksimalkan dengan baik oleh Indonesia. Padahal bonus demografi sudah diprediksi sejak akhir tahun 2000 saat program KB berhasilmenahan laju pertambahan penduduk. Dengan demikian sesungguhnya ada waktu yang cukup untuk mempersiapkan dan mengelola peluang tersebut.
Upaya Indonesia untuk melakukan investasi di bidang sumber daya manusia (SDM) terkesan setengah hati. Lemahnya respon pemerintah dalam menangkap potensi bonus demografi terlihat pada lemahnya kebijakan yang menyangkut pemberdayaan manusia selama ini. Akibatnya, Indonesia harus menghadapi segudang masalah seperti ketersediaan lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertambahan angkatan kerja, banyaknya jumlah pengangguran, dan tingginya tingkat kemiskinan. Kualitas pendidikan, gizi, dan kesehatan masyarakat Indonesia juga belum berada pada taraf yang memuaskan.
Beberapa kebijakan masih bersifat parsial dan kurang berwawasan jangka panjang sehingga timbul ketimpangan kualitas antar sektor. Bahkan, dalam satu bidang terjadi gap pencapaian yang sangat nyata. Di bidang pendidikan misalnya, jumlah perguruan tinggi yang meningkat tajam tidak diimbangi dengan pemenuhan akses pendidikan dasar. Menurut UNICEF, ada sekitar 2 juta anak usia 7-15 tahun yang tidak bisa bersekolah di Indonesia. Kemajuan ekonomi dan industri di Pulau Jawa menyisakan ironi di mana ada sekitar 35-40% anak putus sekolah tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Sementara itu hasil tes PIACC atau Programmefor International Assesment of Adult Competencies terbaru yang dilakukan oleh OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Tingkat kecakapan orang dewasa di Indonesia jauh tertinggal oleh negara-negara lain. Kompetensi pada aspek numerasi, literasi dan kemampuan memecahkan masalah ternyata sangat kurang.Â
Kemudian, menurut Analisis Data Perkawinan Usia Anak yang diluncurkan oleh Badan Pusat Statistik bersama UNICEF belum lama ini menunjukkan jumlah pernikahan dini di Indonesia masih cukup tinggi. Pada 2015 sebanyak 23% wanita Indonesia berusia 20-24 tahun telah menikah sebelum usia 18tahun.Â